Anis menilai masih banyak pekerjaan rumah yang harus dituntaskan untuk melindungi sekitar 9 juta pekerja migran Indonesia yang sebagian besar perempuan.
Upaya pemutakhiran data, tegas Anis, bisa digunakan sebagai dasar perbaikan dan peningkatan pelayanan dan perlindungan pekerja migran.
Selain itu, Anis menyarankan pendekatan G to G untuk mempercepat penuntasan masalah-masalah hukum dan keimigrasian.
Koordinator JWB, Eva Maria Putri Salsabila mengungkapkan bahwa organisasinya mendukung para pekerja migran untuk memperjuangkan hak-hak mereka yang belum dipenuhi para pemberi kerja. Menurut Eva, upaya untuk mendampingi dan meningkatkan kemampuan para pekerja migran juga dilakukan dalam proses perjuangan memperoleh hak-hak para pekerja migran.
Eva berpendapat, pengembangan kapasitas tenaga garda depan pada masalah-masalah tenaga migran sangat penting. Terutama, tambah Eva, kesadaran tenaga legal terkait hak-hak para tenaga migran di Indonesia dan negara tujuan.
Wakil Ketua DPW Jawa Timur Partai NasDem Bidang Migran, Maxixe Mantofa mengungkapkan carut marutnya penanganan pekerja migran Indonesia disebabkan masih adanya sejumlah aturan yang tumpang tindih, baik di tingkat pusat dan daerah.
Maxixe berpendapat, upaya pelatihan para calon pekerja migran harus disesuaikan dengan penempatan mereka, untuk menekan jumlah permasalahan yang dihadapi para pekerja.
Pakar Hukum Tata Negara, Atang Irawan menilai, hadirnya UU No. 18 tahun 2017 di satu sisi dinilai positif dalam upaya perlindungan pekerja migran.
Namun, ujar Atang, sesungguhnya pasal-pasal di dalam UU No. 18/2017 terjadi saling berbenturan. Seperti pada Pasal 13 yang mengatur tentang dokumen yang wajib dimiliki para pekerja migran, pada Pasal 13g menegaskan bahwa pekerja migran wajib miliki dokumen Perjanjian Penempatan Pekerja Migran Indonesia.
Namun, tegas dia, pada Pasal 49 Undang-undang itu mengamanatkan bahwa pelaksana penempatan pekerja migran Indonesia ke luar negeri terdiri atas badan, perusahaan penempatan pekerja migran Indonesia; atau perusahaan yang menempatkan pekerja migran Indonesia untuk kepentingan perusahaan sendiri.
Sejumlah pasal yang saling tumpang tindih itu, jelas Atang, menyebabkan terjadi disharmonisasi antar lembaga dalam praktik perlindungan pekerja migran.
Wartawati Suara Merdeka, Maratun Nashihah menilai upaya perlindungan pekerja migran harus dimulai dari tahap perekrutan dan pelatihan dalam proses pengiriman pekerja migran Indonesia.
Menurut Maratun, negara harus benar-benar memperhatikan perlindungan pekerja migran Indonesia sebelum kita menyoroti negara lain. Sejumlah peraturan terkait perlindungan pekerja migran Indonesia memang sudah ada. Namun, jelas Maratun, realisasinya sangat tergantung pada pelaksanaan di lapangan.
Jurnalis Tempo.co, Suci Sekarwati menyarankan kepada para calon pekerja migran Indonesia untuk menempuh jalur legal untuk bekerja ke luar negeri agar mendapat perlindungan yang optimal.