TRIBUNNEWS.COM, Bogor - Ketua MPR RI sekaligus Wakil Ketua Umum Partai Golkar Bambang Soesatyo menuturkan Presiden RI ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono mendukung usulan dilakukannya kaji ulang terhadap UUD NRI 1945 yang telah dilakukan amandemen sebanyak empat kali serta sistem demokrasi pemilihan langsung.
Pengkajian ulang terhadap UUD NRI 1945 harus dilakukan secara menyeluruh, hingga benar-benar didapati pasal mana saja yang sudah tepat dan mana yang belum tepat dengan kondisi saat ini.
"Pak SBY tadi menyampaikan mengamandemen UUD NRI 1945 bukanlah hal yang tabu, selama ada alasan yang tepat. Karenanya, sebelum mengamandemen UUD NRI 1945 perlu dilakukan kajian yang mendalam dan menyeluruh, sehingga perubahan yang dilakukan tidak bersifat tambal sulam. Apa yang sudah benar dipertahankan, apa yang masih dianggap kurang diperbaiki," ujar Bamsoet usai melakukan Silaturahmi Kebangsaan dengan Presiden RI ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono, di Cikeas, Bogor, Rabu (28/5).
Hadir antara lain Wakil Ketua MPR RI Ahmad Basarah, Syarif Hasan dan Hidayat Nur Wahid.
Bamsoet menjelaskan, UUD1945 telah mengalami amandemen sebanyak empat kali. Namun, masih ditemukan inkonsistensi, kontradiksi, dan ketidakselarasan antar pasal dan ayat. Empat kali amandemen UUD 1945 juga tidak ada memuat 'pintu darurat' dalam konstitusi. Akibatnya, jika ada kedaruratan konstitusi, bangsa Indonesia tidak dapat melakukan apapun.
"Semisal tidak ada ketentuan dalam konstitusi tentang tata cara pengisian jabatan publik yang pengisian jabatannya dilakukan melalui Pemilu. Seperti jabatan presiden dan wakil presiden, anggota MPR RI, DPR RI, DPD RI, hingga DPRD Kabupaten/Kota, apabila Pemilu tidak bisa dilaksanakan tepat waktu karena gempa bumi megathrust, perang, kerusuhan massal, maupun karena pandemi, sementara masa jabatannya telah berakhir," kata Bamsoet.
Lebih lanjut Bamsoet menerangkan, dalam hal sistem demokrasi pemilihan langsung yang dihasilkan melalui empat kali amandemen konstitusi, justru menimbulkan berbagai persoalan moral hazard seperti money politic. Akibatnya, para Caleg yang maju dalam Pileg membutuhkan dana kampanye yang tidak sedikit, sehingga seringkali terikat pada sponsor dan kekuatan oligarki.
"Pak SBY merasakan langsung parahnya money politic pada Pemilu 2024 lalu. Biaya yang dikeluarkan para Caleg pada saat pemilu cenderung mahal. Bahkan, disebut ada Caleg yang sampai mengeluarkan uang Rp 40 miliar hingga Rp 100 miliar untuk menjadi anggota DPR RI," kata Bamsoet.
Bamsoet menambahkan, untuk itu SBY menyarankan perlu dilakukan kajian mendalam apakah sistem demokrasi langsung lebih banyak manfaatnya atau mudaratnya. Bisa jadi hasil kajian menemukan sistem demokrasi langsung justru memiliki efek negatif yang lebih besar dibandingkan sistem perwakilan seperti yang telah dilakukan jauh sebelum reformasi.
"Kita semua tentu tidak ingin sistem demokrasi Indonesia kedepan terus berdasarkan NPWP atau nomor piro wani piro. Akibatnya nanti negara terjebak pada kekuasaan oligarki dan plutokrasi. Karena itu, kita perlu merefleksi kembali pelaksanaan sistem demokrasi pemilihan langsung di Indonesia," pungkas Bamsoet. (*)