Orang berjalan cepat di trotoar. Mereka segera menepi ketika kuli angkut itu mendorong tumpukan kardus bekas pembungkus barang elektronik, seperti televisi dan home theater, berjalan dari arah berlawanan.
Priiittt! Suara peluit tukang parkir melengking memberi aba-aba. Waktu telah berjalan dan selama itu pula jejak-jejak kerusuhan Mei 1998 tidak lagi tampak. Toko-toko di bilangan Glodok telah pulih kembali, demikian juga di Mangga Dua, Jakarta.
Aroma alat elektronik yang baru dibuka dari kardusnya membubung. Di tempat yang sama, 12 tahun lalu, yang membubung adalah bau plastik gosong dalam hawa panas yang menyesakkan, menuai kengerian.
”Suasana sudah seperti biasa lagi. Bahkan, yang dulu habis sekarang sudah bangkit lagi,” tutur Wie Tjiang (50), penjaga kedai kopi Tek Kie, Gang Gloria, di kawasan Glodok.
Ia masih ingat bagaimana api melalap toko-toko itu. Sebelumnya, warga telah menjarah habis isinya. Kedai kopi Tek Kie terhindar dari amukan massa kala itu karena kawasan di sekitar bekas Gedung Bioskop Gloria dijaga warga setempat. ”Mereka katakan di sini yang punya pribumi,” kata Wie Tjiang.
Meski begitu, amuk massa itu membuat sebagian warga China melarikan diri. Bahkan, sayup dalam segala kengerian yang terjadi kala itu, sebagian di antara mereka diperkosa. Teriakan mereka seolah senyap dalam teriakan: ”Bakar! Bakar! Bakar!”
Ketika itu, jejak kengerian ada nyaris di setiap sudut Jakarta. Asap membubung tinggi dari gedung-gedung yang dibakar massa. Ruko-ruko dibongkar, digarong isinya. Dan, sejarah juga mencatat, sebagian dari massa itu pun jadi korban. Ratusan orang terjebak dalam gedung Toserba Yogya, Klender, Jakarta Timur, yang terbakar.
Ruang baru
Dalam hiruk-pikuk arus dunia hari ini, peristiwa 12 tahun itu nyaris terlupakan. Heboh skandal Century, mundurnya Menteri Keuangan Sri Mulyani, dan karut-marut kasus mafia hukum telah menyerap sebagian besar perhatian dan energi publik.
Hampir tak ada celah bagi para korban dan keluarga korban untuk mengambil perhatian itu. Padahal, apa yang mereka perjuangkan, yaitu keadilan, adalah upaya untuk memanusiakan kemanusiaan semua manusia. Kepedihan mereka karena kehilangan anak, kerabat, juga kehormatan, membuahkan demokrasi.
Sekjen Perhimpunan Pendidikan Demokrasi Robertus Robert dalam tulisannya berjudul ”Merehabilitasi Konsep Politik” mengungkapkan, otoritarianisme itu seperti jahitan membutakan di pelupuk mata. Dan, demokrasi adalah momentum terbebasnya penglihatan sehingga dengan itu kita mampu menatap dunia.
Namun, pada saat bersamaan, di hadapan kita pun dihamparkan begitu banyak persoalan. Masyarakat Indonesia memasuki ruang baru dalam sejarahnya menjadi negara-bangsa.
Hanya saja, setelah 12 tahun ruang baru itu justru makin dipenuhi aneka persoalan yang tidak kunjung selesai. Bahkan, Indonesia dihadapkan pada terancamnya identitas kebangsaan, ancaman pada pelupaan terhadap persoalan masa lalu, serta terabaikannya pemenuhan keadilan bagi para korban.
”Kami membutuhkan tindakan konkret dari pemerintah, tidak sekadar basa-basi,” kata Sumarsih, keluarga korban kasus Semanggi I.
Jika saat ini atmosfer penegakan hukum di Indonesia tengah gencar ditingkatkan tensinya, ia berharap pemerintah pun memberikan perhatian serius terhadap korban dan keluarga korban seperti peristiwa Mei 1998, Semanggi I, dan penghilangan paksa para aktivis.
Senada dengan itu, pendamping korban dari Kontras, Yati Andriani, mendesak pemerintah agar mengambil langkah aktif. Ia juga mendesak Kejaksaan Agung menuntaskan kasus-kasus itu. ”Kami juga meminta kepada pemerintah agar menjelaskan dengan terbuka di mana para aktivis yang diculik,” kata Yati.
Setidaknya korban membutuhkan ketegasan pemerintah terhadap upaya penegakan hukum dan keadilan, apalagi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pernah berjanji kepada perwakilan korban untuk menuntaskan berbagai kasus pelanggaran hak asasi manusia di Indonesia.
Namun, terlepas dari itu semua, ketika 12 tahun peristiwa Mei telah berlalu dalam awan sejarah, teriakan para korban masih terus berseru. Mutiara Andalas, mahasiswa program doktoral pada Jesuit School of Theology Berkeley, California, Amerika Serikat, mengemukakan, perjuangan korban sesungguhnya adalah upaya memperjuangkan kemanusiaan. ”Mereka memperjuangkan kemanusiaan kita semua,” tuturnya.
Mereka tak ubahnya pisau yang melepas ikatan yang membutakan mata. Seolah menjadi suluh bagi lahirnya demokrasi. Akankah semua diabaikan dalam lupa?(Kompas Cetak/Josie Susilo hardianto)
Mei 98, Tragedi yang Terlupa
Editor: Anton
AA
Text Sizes
Medium
Large
Larger