Laporan wartawan Tribunnews.com Vanroy Pakpahan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kementerian Hukum dan HAM mendesak pemeritah segera menjalin perjanjian ekstradisi dengan Kamboja dan Singapura. Perjanjian ekstradisi dengan kedua negara ini perlu dijalin agar kesulitan mengekstradisi seorang tersangka pidana korupsi seperti dalam kasus Nunun Nurbaeti tidak berulang.
"Singapura dan Kamboja belum. Justru ini merupakan penguatan agar segera melakukan ekstradisi," tutur Menteri hukum dan HAM Patrialis Akbar di Gedung KemenkumHAM, Jakarta, Rabu (8/6/2011).
Kementerian Hukum dan HAM sendiri, melalui Ditjen Imigrasi, kata Patrialis, bisa saja mengekstradisi tersangka kasus suap DGS BI itu, seandainya Indonesia memiliki perjanjian ekstradisi dengan kedua negara itu.
Untuk mengekstradisi seseorang tersangka seperti Nunun, KemenkumHAM, kata Patrialis memerlukan surat permintaan resmi dari penegak hukum yang menangani kasusnya. Dalam kasus Nunun, maka pihak yang berwenang memintanya adalah KPK.
"Para penegak hukum bisa minta kepada kami agar ekstradisi. Tapi sampai hari ini belum ada permintaan ekstradisi," imbuhnya.
Terkait posisi Nunun saat ini, Patrialis tak dapat memastikannya. Sejauh yang diketahuinya, istri Adang Daradjatun tersebut berada di Phnom Penh, Kamboja. "Saya nggak tahu. Posisi terakhir sudah keluar dari Thailand ke Phnom Penh," tuturnya.
Jika hingga saat ini Nunun masih disana, maka, kata Patrialis, pihaknya tak bisa mengekstradisinya. Namun itu bukan berarti Nunun tak dapat dipulangkan ke tanah air. Menurut Patrialis, Nunun bisa saja dipulangkan dengan bantuan Kedutaan Besar Indonesia di negara tersebut dan Kementerian Luar negeri.
"Bisa (dipulangkan). Kita ini berkoordinasi. Info kita tindaklanjuti dengan KBRI, yang punya kompetensi melakukan tindakan kepada warga kita di luar negeri. Duta besar dan Injen. Menlu juga melacak dulu dimana," ujarnya.