Laporan Wartawan Tribunnews.com, Febby Mahendra Putra
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Wismoyo Aris Munandar, mantan Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) punya pengalaman unik ketika berhubungan dengan Soeharto. Pengalaman pertama saat terjadi kerusuhan di jakarta yang terkenal dengan sebutan Malapetaka 15 Januari (Malari) 1974.
Saat itu mahasiswa berdemonstrasi dan melakukan tindakan anarkis, menuntut Soeharto turun dari jabatan sebagai presiden. "Pada waktu itu saya masih berpangkat Mayor dan menjadi Wakil Asisten Pengamanan Kopassanda (kini bernama Kopassus). Saya ditugaskan menyampaikan pesan Komandan Kopassanda kepada Presiden Soeharto," kata purnawirawan jenderal bintang empat itu.
Maksud pesan itu, agar Soeharto tidak ragu-ragu sehingga ia bisa membaca situasi dengan jelas. Wismoyo ditemui Soeharto di rumahnya, Jl Cendana, Jakarta. Saat itu Seoharto mengenakan sarung dan kaus oblong. "Bisa dibayangkan, saya yang seorang Mayor menghadap Presiden, pasti deg-degan," ujar Wismoyo
"Ono opo (Ada apa)," tanya Soeharto. Wismoyo kemudian menyampaikan pesan Komandan Jenderal Kopassanda bahwa Kopassanda tetap setia kepada Presiden RI. Soeharto tanpak santai mendengar pesan itu.
"Setia iku opo (Setia itu apa)," tanya Soeharto. Wismoyo terhenyak, tidak menduga mendapat pertanyaan seperti itu. Namun Soeharto kemudian mencairkan suasana dengan menjelaskan setia itu berarti memegang teguh kebersamaan dalam mencapai cita-cita.
"Kalau kamu ingin menjadi pribadi yang maju, kamu harus pandai mengenal apa yang terjadi, pandai melihat, pandai mendengar, dan pandai menganalisis," kata Soeharto kepada Wismoyo.
Setelah peristiwa tersebut. Wismoyo mengaku memiliki pengalaman unik lainnya. Yaitu, ketika Wismoyo hendak meminang adik ipar Soeharto, Datit Siti Hardjanti (adik kandung Ny Tien Soeharto). "Walaupun orang Jawa, saya tidak memahami betul tata krama Jawa hinggil (tinggi). Saya bahkan tidak bisa berbahasa Jawa krama (halus). Namun apa daya cinta saya berlabuh kepada Datit Siti Hardjanti, adik kandung Ibu Tien Soeharto," kenang mantan Komandan Jenderal Kopassus itu.
Datit ternyata minta Wismoyo meminang dirinya kepada Soeharto dan Ny Tien. "Sehari sebelum persitiwa penting dalam hidup saya itu, saya mempersiapkan diri lahir dan batin. Dengan grogi saya bolak-balik membersihkan sepatu supaya berkilau," ujar Wismoyo.
Wismoyo berangkat ke rumah Soeharto sendirian. Setelah Wsmoyo masuk ruang pertemuan tanpa melepas sepatu, Ny Tien memperhatikan dirinya dari bawah sampai ke atas. Tentu saja Wismoyo grogi bukan kepalang.
"Wong lanang kok ingah-ingih (Laki-laki kok tersipu-sipu)," kata Ibu Tien.
Wismoyo kemudian memandang ke arah Soeharto yang saat itu hanya tersenyum. Wismoyo menunduk, terdiam seribu bahasa. "Aku mbiyen yo ingah-ingih (Saya dulu juga tersipu-sipu)," ujar Soeharto sambil tersenyum.
Celetukan Soeharto tersebut membangkitkan kembali semangat Wismoyo untuk menyampaikan maksud kedatangannya. "Sungguh kalimat Pak Harto memotivasi kembali semangat saya. Peristiwa kecil itu sangat membekas di hati saya. Setiap pemimpin harus berani menyelamatkan bawahannya yang bertujuan baik," tambah pria yang pernah menjabat Pangdam Diponegoro itu.
Keputusan berani
Pada suatu waktu Wismoyo menanyakan kepada Soeharto, apa yang membuatnya berani mengambil keputusan cepat untuk mengatasi pemberontakan PKI yang melakukan Gerakan 30 September 1965.
"Saya ini tentara. Tentara itu pedoman hidupnya Sapta Marga. Kami patriot Indonesia, pendukung dan pembela ideologi negara yang bertanggungjawab dan tidak mengenal menyerah. Melihat pemberontak yang komunis, sedangkan ideologi negara adalah Pancasila, ya saya harus melawan. Kalau saya kalah, saya akan memberontak," jawab Soeharto
Saat terjadi pemberontakan PKI, Soeharto menjabat sebagai Panglima Komando Strategis Angkatan Darat (Pangkostrad). "Tidak mudah memutuskan sesuatu seperti dilakukan Pak Harto pada saat itu. Keadaan sangat sulit, namun Pak Harto punya nyali. Keputusan itu sangat beliau yakini kebenarannya. Alon-alon asal kelakon (Pelan-pelan asal terlaksana)," kata Wismoyo