News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Papua Memanas

Tindakan Brutal Aparat di Pembubaran Kongres Rakyat Papua

Editor: Hasiolan Eko P Gultom
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Ratusan orang diamankan pihak kepolisian karena mengikuti Kongres Rakyat Papua yang menyetujui pembentukan negara Papua Merdeka, Rabu (19/10/2011).

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Samuel Febriyanto

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Persekutuan Gereja-gereja Papua (PGGP), dan Lembaga Studi dan Advokasi Hak Asasi Manusia (Elsham) Papua, melansir hasil investigasi di balik peristiwa pembubaran Kongres Rakyat Papua (KRP) ke 3, di Abepura, Papua, 19 Oktober 2011, yang lalu.

Dari hasil temuan tersebut, mereka berkesimpulan aparat kepolisian, dan Tentara Nasional Indonesia (TNI), telah melakukan tindakan kekerasan secara brutal ketika membubarkan Kongres Rakyat Papua (KRP), ke tiga, di Abepura, Papua.

"PGGP dan Elsham Papua, berkesimpulan bahwa tragedi kekerasan yang sesungguhnya terjadi di Lapangan Zakeus Abepura, merupakan bentuk penyerbuan brutal oleh aparat Polri dan TNI terhadap rakyat Papua yang menyelenggarakan kegiatan politik secara damai," ujar Pendeta Wellem Maury, anggota PGGP, dalam acara jumpa pers yang digelar di Kantor Sekretariat Persatuan Gereja Indonesia (PGI), Jakarta, Senin (28/11/2011).

Menurut aktivis Elsham Papua, Daniel Randongkir, aparat kepolisian dan TNI, menyerbu warga sipil Papua yang mengikuti KRP ke-3, pada 19 Oktober 2011, yang menyebabkan para peserta kongres lari menyelamatkan diri, dan bersembunyi di sekitar Lapangan Zakeus, dan bangunan yang berada di sekitar.

"Sebagian warga lari menyelamatkan diri ke perbukitan di bagian selatan lapangan Zakeus, aparat TNI atau Polri menangkap warga sipil dan mengumpulkan mereka ke tengah lapangan Zakeus," ucapnya.

Akibat dari penyerangan tersebut, menurutnya, tiga orang ditemukan tewas, yaitu, Daniel Demianus Taniwo Kadepa (28), mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Umel Mandiri jayapura, Yakobus Samonsabra (58), dan Max Asa Yeus (33), yang memiliki profesi sebagai Penjaga Tanah Papua (Petapa).

"Sementara 387 orang ditangkap dan menjalani interogasi, kemudian enam orang diantaranya telah ditetapkan sebagai tersangka dengan dakwaan makar, penghasutan, dan kepemilikan senjata tajam," katanya.

Selain itu, dalam pembubaran KRP 3, pihak PGGP dan Elsham Papua, menerima laporan adanya tindak kekerasan terhadap 51 orang peserta KRP 3 oleh aparat Kepolisian, dan TNI.

"Kami menerima laporan 51 orang telah mengalami penyiksaan di Lapangan Zakeus, sebelum dibawa ke Markas Kepolisian Daerah Papua, sedangkan tiga orang melaporkan bahwa mereka diintimidasi oleh aparat TNI, maupun Polri," kata Daniel.

Selain adanya tindak kekerasan yang dilakukan oleh aparat kepolisian dan TNI, PGGP dan Elsham Papua, juga menemukan adanya tindakan rasialis, yang juga dilakukan oleh aparat kepolisian dan TNI, dan tindakan pengrusakan dan pencurian terhadap harta milik pelajar, mahasiswa, dan para frater yang tinggal di asrama-asrama milik Ordo Fransiskan Papua, yang ada di dekat lokasi pelaksanaan KRP 3.

Untuk itu PGGP dan Elsham Papua, merekomendasikan, agar Komnas HAM, segera membentuk Komisi Penyelidikan Hak Asasi Manusia, untuk menyelidiki pihak-pihak yang bertanggung jawab terhadap pelanggaran HAM, pasca pelaksanaan KRP 3. Selain itu mereka meminta agar negara-negara internasional yang menjalin kerjasama militer dan keamanan dengan Pemerintah Indonesia, menghentikan kerja sama tersebut.

Mereka juga meminta kepada Pemerintah Indonesia, memberikan kesempatan bagi Amnesty Internasional agar mengunjungi Papua bertemu dengan para tahanan politik, dan mengundang Pelapor Khusus Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB), bidang penyiksaan, penembakan kilat, pencegahan diskriminasi rasial, penahanan sewenang-wenang, dan pencegahan kekerasan terhadap perempuan, di Papua.

"Pemerintah Indonesia segera melakukan dialog setara dan komprehensif guna menyelesaikan akar permasalahan yang memicu terjadinya konflik di Papua lebih dari empat dekade," tutup Pendeta Willem Maury.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini