TRIBUNNEWS.COM, SUKABUMI - Pengorbanan anggota Tim SAR, dan relawan pencari korban pesawat Sukhoi Superjet 100 yang jatuh di Gunung Salak, pekan lalu, patut diacungi jempol. Tanpa pamrih, mereka mengorbankan tenaga, guna membantu mencari dan mengevakuasi 45 korban tewas bersama hancurnya pesawat di tebing gunung.
Ading contohnya. Relawan dari organisasi Masyarakat Relawan Indonesia (MRI) itu rela naik dan turun ke puncak Gunung Salak, hingga tiga kali dalam lima hari terakhir. Semua dilakukan Ading demi ikut membantu menemukan korban pesawat sukhoi yang hilang.
Sejak hari Jumat (11/5/2012), pekan lalu, sudah tiga kali dia naik ke puncak Gunung Salak. "Kaki sampai hancur begini," kata Ading, sembari memperlihatkan telapak kakinya yang lecet akibat berjalan naik-turun ke puncak Gunung Salak.
Tak hanya kaki, tangannya juga terluka, terkena terkena duri dan ranting dari pohon dan semak di hutan Gunung Salak.
Pertama kali naik gunung, Ading menempuh rute dari Cipelang, Cijeruk. Saat itu, belum banyak relawan yang sampai ke Puncak Salak I, yang menjadi lokasi jatuhnya pesawat.
"Dari Puncak Salak III kami langsung menuruni lembah, dan naik kembali ke puncak satu. Sempat bermalam di lembah, keesokan harinya baru ketemu dengan tim lain.
Kemudian, Senin (14/5/2012), Ading kembali naik ke puncak Gunung Salak. Kali ini rute yang ditempuhnya adalah dari kawasan Cimelati. "Ini rute yang paling dekat. Tapi lebih sulit ditempuh karena medannya yang sangat berat," kata Ading.
Dan pendakian terakhir, Rabu (16/5/2012) pagi, Ading kembali naik ke puncak Gunung Salak, masih melalui rute yang sama dari kawasan Cimelati. Pada Rabu Sore, dia pun tiba kembali di posko yang dikhususkan untuk pemasok logistik dan obat-obatan untuk tim SAR dan relawan itu.
Ading menempuh perjalanan naik dan turun puncak Gunung Salak, hanya ditemani Idrus, seorang rekannya dari MRI.
"Kami duet maut," kata Idrus menambahkan.
Ading mengaku sudah biasa mendaki puncak Gunung Salak bersama dengan Idrus. Namun pendakian untuk mencari korban jatuhnya pesawat sukhoi ini, dinilainya lebih berat dibanding pendakian yang pernah dilakukannya selama ini.
"Kalau mendaki, biasa kami bisa santai, sambil menikmati pemandangan di gunung. Tapi kalau menyelamatkan korban seperti sekarang, mana bisa santai. Kita harus cepat, tak boleh lambat," ucapnya.
Lalu apa tidak takut naik gunung hanya berdua? "Ah, buat apa takut. Niat kami kan baik, bukan mau ngapa-ngapain. Alhamdulillah selama ini belum pernah ada kejadian yang aneh-aneh. Dan mudah-mudahan saja ke depannya juga tidak ada," ucap pria asal Sukabumi itu.
*Silakan klik di Sini untuk update berita Tribun Jakarta Digital Newspaper