TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Eva Kusuma Sundari menilai, tertangkapnya dua hakim adhoc Pengadilan Tipikor daerah oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), tak lepas dari tanggung jawab Mahkamah Agung (MA).
"Ini sudah menjadi problem struktural. Pembentukan Pengadilan Tipikor di daerah agak kontroversial. Kultur internal MA belum tuntas dalam reformasi kelembagaan, dirombak kekencengan," ujar Eva kepada Tribun di Jakarta, Jumat (17/8/2012).
Kelemahan itu, lanjut Eva, berdampak pada perekrutan dan penunjukan hakim-hakim adhoc Pengadilan Tipikor yang belakangan menuai protes. Sebab, mereka yang direkrut tidak berkualitas, dan beberapa memiliki rekam jejak buruk.
"Ditambah dengan proses pengawasan juga lemah, di mana MA secara konstan selalu berantem dengan Komisi Yudisial. Sehingga, outputnya ya seperti dalam insiden-insiden penangkapan hakim tipikor," tutur anggota Komisi III DPR.
Jumat pagi, KPK menangkap tangan Kartini Marpaung, hakim adhoc Pengadilan Tipikor Semarang dan Heru Kisbandono, hakim adhoc Pengadilan Tipikor Pontianak, bersama pengusaha bernama Sri Dartutik di parkiran Pengadilan Tipikor Semarang, Jawa Tengah.
Diduga kuat, Kartini menerima suap dari Sri untuk memuluskan vonis terdakwa dugaan korupsi APBD 2006-2008 senilai Rp 1.9 miliar, Ketua DPRD Grobogan M Yaeni. Sedangkan Heru adalah teman semasa kuliah Yaeni di Universitas 17 Agustus Semarang. (*)
BACA JUGA