TRIBUNNEWS.COM,JAKARTA--Abdullah Amran Batalipu tak terima saat penangkapan dirinya yang ia anggap tidak manusiawi karena penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melibatkan Detasemen Khusus 88 Antiteror Polri.
Ungkapan itu disampaikan terdakwa suap Rp 3 miliar dari perusahaan Hardaya Inti Plantation milik Hartati Murdaya dalam nota pembelaannya di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta Pusat, Senin (28/1/2013).
Ia berdalih, selama ini pimpinan dan juru bicara KPK kerap kali mendengungkan penetapan tersangka harus disertai dua alat bukti yang cukup. Namun, apa yang dialaminya, penyidik KPK justeru tidak menerapkan prinsip demikian.
"Mereka membuka pintu rumah saya secara paksa. Menyeret saya dengan todongan laras panjang, dan dua tangan diborgol Densus 88 Polri yang mendampingi penyidik KPK," ujar Amran yang dalam persidangan disaksikan ibunda dan saudaranya.
Saat penangkapan, cerita bekas Bupati Buol itu, ia telah memohon kepada petugas untuk menunaikan salat Subuh dan mengganti sarungnya dengan celana panjang tapi ditolak. Alih-alih diijinkan, ada petugas menodongkan senjata kepada anak dan ibunya.
Kekecewaan Amran semakin menjadi-jadi setelah tim penyidik KPK dan Densus 88 Antiteror kembali mengarahkan senjatanya pada sang istrinya saat meminta tanda tangan berita acara penangkapan. "Ini membuat mereka syok dan trauma," ucapnya.
15 Latihan Soal PKN Kelas 1 SD Bab 1 Kurikulum Merdeka, Pilihan Ganda dan Esai Lengkap Kunci Jawaban
Kartu Prakerja Gelombang 65 Ditutup Malam Ini, Segera Daftar! Ini Syarat & Cara Mengikuti Programnya