TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sinergi Masyarakat untuk Demokrasi Indonesia (Sigma) menilai polemik antara KPU dan Bawaslu mengenai keikutsertaaan Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI) jangan dipandang adanya salah satu pihak yang lebih superior.
Dalam acara diskusi di hotel Acacia yang bertemakan Eksaminasi Publik Seputar Kontroversi Penolakan KPU atas Keputusan Bawaslu 012/2013 yang meloloskan PKPI sebagai peserta Pemilu 2014, Koordinator Sigma, Said Salahudin mengatakan berdasarkan UU nomor 12 tahun 2011, kedudukan KPU dan Bawaslu selanjutnya akan dikonsultasikan ke DPR. Menurutnya saat ini tak ada aturan yang berlaku tanpa konsultasi ke DPR lebih dulu.
"Tak ada yang lebih superior, artinya KPU dan Bawaslu setara. Terkait kedudukan pemilu dan saling mengawasi, Bawaslu lebih dominan. KPU sebagai pelaksana pemilu, diberi kewenangan sesuai UU nomor 8 tahun 2012," ujar Said dalam keterangan persnya, Jumat (15/2/2013).
Menurutnya sebelum November 2012, aturan Bawaslu sudah dikonsultasikan ke DPR. "Kalau tak tahu, ada kemungkinan, pertama pura-pura tak tahu. Kedua benar-benar tak tahu. Kalau tak tahu, berarti DPR tak cakap. Kalau ada penilaian, aturan Bawaslu overdosis, saya kira mereka mengada-ngada," cetusnya.
Said mengatakan Undang-Undang Peraturan, Pembentukan, dan Perundang-Undangan (UU P3) menyebutkan lampiran mempunyai kekuatan yang sama dengan undang-undang. Oleh karena itu Peraturan Bawaslu no 12/2013 model C10 dan C14 mempunyai kekuatan yang mengikat.
"Artinya, tak bisa dibantah lagi, keputusan Bawaslu tak bisa ditolak lagi. Kalau KPU sekarang mengatakan tak berwenang, saya bilang mengada-ngada. Anehnya, kalau ada yang enggak lolos, tak masalah. Tapi kalau ada yang lolos selalu menjadi masalah antara KPU dan Bawaslu," bebernya.
Said juga menyatakan tak sependapat kalau Bawaslu dikatakan tak berwenang mengoreksi peraturan KPU untuk keterwakilan perempuan di daerah sebanyak 30 persen. Ia menilai karena Bawaslu bertugas sebagai pengawas, maka karena itu Bawaslu mengoreksi.
Sementara itu, pakar hukum tata negara Universitas Atmajaya, Max Boli Sabon, menilai pertentangan antara KPU yang menolak keputusan Bawaslu untuk meloloskan PKPI dinilai sebagai sengketa Tata Usaha Negara (TUN).
"Apa yang terjadi antara PKPI dan KPU adalah sengketa TUN Pemilu, bukan sengketa Pemilu. Jika sengketa yang terjadi adalah sengketa pemilu, barulah kewenangan Bawaslu untuk menyelesaikannya. Sedangkan untuk sengeketa TUN merupakan kewenangan Mahkamah Agung (MA)," paparnya.
"Ketika Bawaslu menggunakan peraturan Bawaslu untuk menyelesaikan sengketa PKPI dengan KPU, itu salah jalan. Karena peraturan yang dibuat untuk menyelesaikan sengketa pemilu, bukan sengketa TUN pemilu," tambahnya.
Max mengatakan peraturan yang dibuat MA dan KPU bukan termasuk ke dalam perundangan. Peraturan perundangan adalah UUD 1945, PP, Perpres, Perda Provinsi, dan Perda Kabupaten. Namun, peraturan sejenis itu, misalnya peraturan MA dapat berlaku mengikat jika diperintahkan undang-undang.
Ditambahkannya, Bawaslu bukan lembaga yudikatif, melainkan badan otonom di dalam kategori eksekutif. Oleh karena itu, UU mengatur Bawaslu tidak boleh membuat keputusan final atau pasti bagi perkara semacam ini.
Klik: