TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Anggota Komisi VIII DPR Inggrid Kansil, meminta pasal 293 tentang Santet dalam RUU KUHP dikaji kembali. Ia menilai, pasal tersebut belum terlalu mendesak bagi masyarakat.
"Seperti yang kita ketahui, hukum harus bersifat tegas dan jelas, baik dari segi dan bentuk kasus, maupun bukti-bukti yang menerangkan serta mengklasifikasikan sebuah kasus, termasuk pidana ataukah perdata. Kasus pembunuhan ataukah penipuan," kata Inggrid di Jakarta, Jumat (22/3/2013).
Ia menuturkan, pembuktian dari pasal tersebut butuh bukti dalam bentuk fisik, dan bukti fisik inilah yang tidak dimiliki santet dan ilmu nujum lain.
Menurut istri Menteri Koperasi dan UKM Syarief Hassan, santet erat kaitanya dengan metafisika, yang secara wujud tidak dapat dilihat, tapi dapat dirasakan akibatnya.
"Santet, teluh, tenun, hingga sumpah pocong, merupakan hal yang telah dikenal baik oleh masyarakat," ujarnya.
Itu, kata Syarief, merupakan bagian dari budaya yang menjadi identitas yang sifatnya melekat, sebagai sebuah bangsa yang memiliki beragam adat istiadat.
"Tapi, dengan adanya praktik tersebut, tidak serta merta membuat kita menjadikannya dasar hukum, dengan asumsi bahwa akibat santet ini dirasakan dan menimbulkan kerugian, baik secara materiil dan non materil," tuturnya.
Inggrid melihat, dari segi hukum positif, kedudukan santet dan praktik ilmu nujum lain masih memiliki banyak kelemahan, baik dari segi bukti maupun pembuktian.
Remaja di Tanah Datar Lecehkan Kitab Suci, Akui Disuruh Orang, Diupah Rp 50 Ribu, Kejiwaan Diperiksa
Viral Remaja Lecehkan Kitab Suci di Tanah Datar, Disuruh Orang Demi Rp50 Ribu, Kejiwaannya Diperiksa
Jangan sampai, jika klausul benar-benar dikukuhkan, malah akan melahirkan masalah baru, yaitu lahirnya ketidakpercayaan dan melegalkan praktik fitnah di masyarakat.
"Pasal tersebut berpotensi melahirkan masyarakat yang tidak rasional, sekaligus menumbuhkan kecurigaan jika dalam sebuah konflik terjadi hal-hal bersifat tidak terduga dan menimbulkan luka, dan langsung mengambil kesimpulan bahwa pihak lawannya melakukan praktik santet atau ilmu nujum lain, tanpa didukung bukti yang mumpuni," paparnya.
Inggrid menyarankan, persoalan santet atau praktik ilmu nujum lain, diselesaikan melalui kearifan lokal berupa adat istidat yang berlaku di setiap daerah, yang tentunya tidak bertentangan dengan perundang-undangan yang berlaku di negara kita.
"Semoga pemikiran ini dapat memberikan pencerahan pada kita semua, bahwa tidak setiap persoalan di negeri ini perlu dibekukan dalam suatu perundang-undangan," cetusnya. (*)