TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Banyak pihak yang meragukan elektabilitas Partai Demokrat menyusul terpilihnya Susilo Bambang Yudhoyono(SBY) sebagai Ketua Umum. Akan tetapi, keraguan tersebut bisa saja berubah apabila SBY dan Partai Demokrat mengusung kandidat presiden dari kalangan muda pada Pemilu 2014 mendatang.
Diprediksi, partai berlambang mercy tersebut akan meraih 15 persen suara di pemilu legislatif.
"Peluang untuk berani menampilkan tokoh muda sebagai capres 2014, di antara partai-partai yang ada saat ini justru ada pada partai Demokrat. Kejeniusan dan kejelian SBY dalam melihat peluang ini tidak perlu diragukan lagi. Karena hanya dengan berani memutuskan mencapreskan tokoh muda sebagai capres 2014, maka partai Demokrat setidaknya akan mampu bertahan di angka 15% dan perolehan itu cukup aman untuk menempatkan partai Demokrat sebagai pemenang ke 4 di bawah PDIP, Gerindra dan Golkar," kata Board of Advisor Center for Strategic and International Studies (CSIS), Jeffrie Geovanie dalam pernyataannya yang diterima Tribunnews.com, Senin (1/4/2013).
Menurut Jeffrie, figur muda yang dekat dengan SBY saat ini adalah Gita Wirjawan, Dino Pati Jalal, atau dari dalam lingkungan partai Demokrat ada figur seperti Roy Suryo.
Tentu bila itu pilihan-pilihannya dapat diduga pilihan SBY akan lebih kuat pada figur Gita Wirjawan.
"Kita tunggu saja. Figur pilihan tersebut bisa maju sebagai capres atau dipasangkan dengan figur capres yang kuat yaitu Jokowi," kata Jeffrie.
Sementara, peneliti Maarif Institute for Culture and Humanity Endang Tirtana memaparkan, terpilihnya Presiden SBY sebagai ketua umum dalam KLB Demokrat dan Edhie "Ibas" Baskoro yang tidak bergeser dari posisi Sekjen, menegaskan bahwa politik Indonesia tidak bisa lepas dari sistem paternalistik dan politik dinasti.
Dengan berpasangannya ayah dan anak dalam jabatan tertinggi partai Demokrat, partai ini memperlihatkan sebuah upaya membangun sebuah partai keluarga. Fenomena di tubuh Demokrat saat ini merupakan tanda bahwa ada ketidakdewasaan dalam berdemokrasi.
Hanya, lanjutnya, hal tersebut merupakan sebuah pilihan. Partai politik manapun bebas untuk memilih apakah ingin berdemokrasi secara dalam, atau tidak.
Akan tetapi, tutur Endang, secara ideal partai politik seharusnya bisa mengedepankan profesionalitas yang misalnya diukur dari kapasitas personal dari sisi pengalaman berpolitik, kecemerlangan pengetahuan,dan bukan dari silsilah dan hubungan keluarga.
Pemakluman bisa saja terjadi dalam budaya masyarakat Indonesia dan menganggap politk dinasti adalah hal yang wajar, biasa saja. Dalam banyak contoh di negara-negara Asia lainnya pun juga prakteknya demikian.
"Akan tetapi, regenerasi politik semacam ini sesungguhnya akan menghilangkan kesempatan untuk mendapatkan tokoh yang sesungguhnya memiliki kemampuan lebih baik," jelasnya.
Endang menuturkan, dualisme jabatan sebagai presiden dan ketua umum partai, merupakan strategi jangka pendek yang baik bagi partai Demokrat, untuk meredakan gejolak internal partai dan dalam upaya untuk menaikkan elektabilitas 15% untuk kepentingan 2014.
Akan tetapi jika hal ini berpengaruh dalam penurunan kinerja kepemimpinannya dalam menjalankan target-target pembangunan, maka tentu saja menjadi bumerang bagi partai Demokrat.
"Selanjutnya, fenomena ini semakin menunjukkan kepentingan pragmatis SBY sebagai ikon partai Demokrat, dimana sebelumnya dia melarang para menterinya agar jangan sibuk dalam mengurus partai, tapi sekarang justru SBY melanggar larangannya sendiri," ujarnya. (*)