TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Aliansi Jurnalis Independen (AJI) menyatakan beredarnya rekaman pembicaraan di media sosial (Youtube) tentang rencana penggunaan frekuensi publik oleh stasiun tv swasta nasional untuk kepentingan politik praktis partai politik mengonfirmasikan sekali lagi, hilangnya etika dan diabaikannya norma hukum yang mengatur dunia penyiaran.
Dalam taklimat yang dikeluarkan di Jakarta, Senin (6/5/2013) AJI mencatat, sebelumnya sebuah film dokumenter berjudul ‘Di Balik Frekuensi’ yang dirilis awal tahun ini, telah memaparkan bukti-bukti berupa adanya penggandaan tayangan yang menunjukkan bahwa dua stasiun televisi (TV) berita menggunakan domain publik dan tanpa malu-malu menyalahgunakan jurnalisme untuk kepentingan rivalitas politik pemilik usaha.
"Televisi-televisi yang pemiliknya terafiliasi dengan partai politik, juga memenuhi ruang publik dengan iklan-iklan politik yang patut diduga tidak memberikan kesempatan yang sama kepada partai lain," demikian tulis AJI dalam pernyataan sikap yang ditandatangani Ketua Umum AJI Indonesia, Eko Maryadi, dan Koordinator Divisi Penyiaran & Media Baru AJI Indonesia, Dandhy Dwi Laksono.
AJI juga mengutip catatan KPI, yang menunjukkan, dalam periode Oktober-November 2012 saja, grup MNC yang ketika itu pemiliknya masih berafiliasi dengan Partai Nasdem, telah menayangkan iklan Nasdem hingga 350 kali. Rinciannya, RCTI sebanyak 127 kali, MNCTV 112 kali, dan GlobalTV 111 kali.
Pada periode yang sama MetroTV menayangkan iklan Partai Nasdem sebanyak 43 kali. Sementara tvOne menayangkan iklan Partai Golkar sebanyak 34 kali.
AJI memandang, setidaknya ada tujuh norma hukum dan etis yang dilanggar stasiun-stasiun TV/radio bila bersikap partisan dalam pemberitaan atau program acaranya. Ketujuh norma hukum dan etik yang dilanggar itu adalah sejumlah pasal yang terdapat pada UU Penyiaran 32/2002, Pedoman Perilaku Penyiaran (P3 2011), Standar Program Siaran (SPS 2011) dan Kode Etik Jurnalistik.
AJI mengecam segala bentuk penyalahgunaan jurnalisme untuk kepentingan politik praktis, baik dilakukan media berbasis frekuensi publik (TV & Radio), maupun media cetak. Mereka mendesak pemerintah (Kementrian Informasi dan Komunikasi), Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dan Dewan Pers untuk mengambil langkah dan menerapkan sanksi tegas, sebagaimana diamanatkan dalam UU Penyiaran 32/2002, P3 SPS 2011, maupun Kode Etik Jurnalistik.
Selain itu AJI juga mendesak pemerintah untuk tidak ragu-ragu mengambil tindakan maksimal dengan mencabut izin atau tidak memperpanjang izin frekuensi stasiun TV yang nyata-nyata dan sengaja melecehkan semua norma hukum dan etis.
AJI juga menyamoaikan seruan agar jurnalis tetap menjunjung tinggi profesionalisme, menegakkan etika, dan mengambil posisi membela kepentingan publik di atas kepentingan perusahaan atau organisasi politik terafiliasi. (willy pramudya)