TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) menyayangkan pernyataan Komandan Korem 072/Pamungkas, Yogyakarta, Brigadir Jenderal Adi Widjaja di sejumlah media. Damrem menyebutkan, 42 saksi yang akan memberikan keterangan di persidangan kasus penembakan LP Cebongan tidak mengalami stres dan trauma.
"Pernyataan seperti tidak pantas diucapkan seorang Danrem, jika yang bersangkutan belum pernah membaca hasil rekam psikologis para saksi dan tidak melihat langsung kondisi para saksi tersebut," kata Ketua LPSK, Abdul Haris Semendawai dalam keterangan persnya yang diterima Tribunnews.com, Jumat (7/6/2013)..
Haris pun merasa heran dengan sikap Danrem yang menuduh LPSK dalam pemberitaan di beberapa media, memiliki kepentingan pendanaan dibalik penggunaan Video Conference (VCR).
"LPSK itu lembaga independen, dibentuk berdasarkan ketentuan Undang-Undang, dan semua fasilitas yang dimiliki LPSK dibiayai APBN dan harus dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kepentingan rakyat. Kepentingan kami ya cuma satu, yakni untuk melindungi saksi dan korban, dan kami tidak punya problem pendanaan apalagi kepentingan lain dalam penggunaan VCR, hal itu murni untuk mengakomodir kepentingan saksi yang masuk program perlindungan LPSK," kata Haris.
Haris menilai sikap Danrem yang demikian, justru dapat menunjukan sinyal buruk pelaksanaan sidang kasus LP Cebongan.
"Dengan dibiarkannya saksi berhadapan langsung dengan pelaku, akan membuat saksi ketakutan, tertekan dan trauma berulang. Akibatnya, keterangan yang diberikan para saksi tidak maksimal. Jika tidak maksimal, hukuman bagi pelaku bisa ringan atau bahkan dibebaskan," kata Haris
Lebih lanjut Ketua LPSK menegaskan, agar Danrem dapat memahami fungsi perlindungan saksi dalam sistem peradilan pidana. Karena, lanjur Haris, dalam beberapa kasus yang melibatkan anggota militer. Menurutnya, kehadiran LPSK dapat diterima dengan baik, dan saran-saran LPSK selama ini dijalankan pengadilan militer.
"Tapi kenapa untuk pengungkapan kasus di LP Cebongan justru dipersulit?" Kata Haris.
Haris mengungkapkan, keinginan lembaganya untuk menggunakan VCR tersebut merupakan upaya untuk mengakomodir kepentingan saksi yang masuk dalam program perlindungan LPSK, dan penggunaan VCR pun secara sah dibenarkan dan dilindungi Undang-Undang.
"Pasal 9 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban menyatakan secara jelas soal dibolehkannya seorang saksi dan/atau korban yang merasa dirinya berada dalam ancaman yang sangat besar dapat memberikan kesaksian tanpa hadir langsung di pengadilan setempat,selain itu saksi dan/atau korban tersebut dapat didengar kesaksiannya secara langsung melalui sarana elektronik," kata Haris.
Seperti diberitakan sebelumnya, LPSK telah melibatkan 18 orang psikolog untuk memulihkan trauma para saksi tersebut.
"Jika saksi dianggap tidak trauma dan stres,buat apa delapan belas orang psikolog kami kerahkan untuk memulihkan psikologis para saksi. Hal ini menunjukan keseriusan LPSK untuk membantu proses penegakan hukum dalam persidangan kasus di LP Cebongan, agar saksi dapat memberikan keterangan secara maksimal, " kata Haris.
Untuk itu, Haris berharap Mahkamah Agung RI dapat mengambil sikap dan memutuskan soal penggunaan VCR dalam sidang pemeriksaan saksi dalam kasus LP Cebongan.