TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Syaiful Bahri, Ketua Majelis Hukum dan HAM PP Muhammadiyah, menilai Rancangan Undang-Undang Organisasi Kemasyarakatan (RUU Ormas) lebih represif dibandingkan dengan UU Nomor 8 Tahun 1985 tentang Partai Politik dan Kemasyarakatan bentukan Orde Baru.
UU tahun 1985 tersebut, kata Syaiful, lebih sederhana karena jumlahnya hanya 20 pasal. Sementara RUU Ormas memuat pasal sejumlah 88 pasal.
"Pasalnya hanya sedikit yaitu 20 pasal. Padahal Orde Baru yang represif tidak membubarkan Ormas nakal. Jauh lebih represif dibanding UU Keormasan yang lama. Defisininya sudah menimbulkan kecurigaan berbagai pihak," ujar Syaiful dalam diskusi bertajuk 'RUU Ormas Kok Bikin Cemas', di Warung Daun Cikini, Jakarta, Sabtu (29/6/2013).
Dalam RUU tersebut, Syaiful menengarai definisi ormas dalam RUU yang sedang dibahas tidak jelas apakah organisasi kemasyarakatan atau organisasi massa.
Syaiful juga mengatakan Muhammdiyah menolak RUU Ormas karena RUU tersebut akan mengarah kepada rezim perizinan. Setiap Ormas harus mendapat izin. Padahal sejak dulu, cukup mendaftar saja.
"Padahal dulu cukup pedaftaran. Tidak ada (ormas yang mendaftar) yang ditolak. Sekarang harus buat izin. Mekanismenya juga membubarkan tingkatan hierarki. Camat bisa membubarkan sampai menteri dalam negeri," kata dia.
Selain itu, RUU Ormas sebenarnya kehilangan urgensinya. Sebab jika disebut UU Keormasan juga tidak tepat karena bukan UU organik yang langsung diperintahkan UUD 1945.
"Dia bukan UU organik. Organik adalah UU yang langsung diperintah UUD 1945. MisalnyaUU berserikat dan berkumpul. UU berserikat sudah ada yakni partai politik. UU berkumpul yang belum ada. Harusnya masuk ke situ. Digabung saja. Kalau tidak nanti kita hutan belantara UU," katanya.