Laporan Wartawan Tribunnews.com, Nurmulia Rekso Purnomo
TRIBUNNEWS.COM -- Menurut Mustar proses negosiasi dengan warga dengan Inspektur Jenderal Pol Djoko Susilo (52) melalui notaris bernama Erick Maliangkay tidak selalu sukses. Sejumlah warga sempat tidak mau melepas lahannya karena Erick menawar terlalu murah.
Alhasil Erick menunjuk lahan lain sebagai pengganti. "Soal proses tawar menawar tidak pernah repot. Pak Erick seringnya selalu setuju pada harga yang saya tawarkan. Kalau menurut Pak Erick harganya terlalu mahal, tinggal pilih lahan yang lain. Gampang saja kok," jelasnya.
Mustar mengaku mendapat keuntungan sebesar 2,5 persen dari total transaksi. Ia tidak pernah bertanya kepada Erick untuk apa Djoko membeli lahan itu.
Terakhir Djoko membeli tanah pada 10 Oktober 2007 seluas 167 meter persegi seharga Rp17.201.000 dan tanah seluas 150 meter persegi seharga 12.300.000. Sejak pembelian pertama hingga terakhir Djoko selalu membayar secara tunai di kantornya, Direktorat Lalu Lintas Polda Metro Jaya.
Meski urusan tanah sudah lam kelar, namun beberapa bulan lalu Mustar harus menjalani pemeriksaan sebagai saksi di KPK. Ia sempat bersitegang dengan penyidik KPK mengenai batas- batas lahan milik Djoko.
"Penyidik KPK menunjuk lahan warisan almarhum orangtua saya sebagai tanah punya Pak Djoko. Terang-terangan saya tidak terima. Bisa bikin masalah baru lagi kalau lahan warisan keluarga saya diambil KPK," ujar Mustar.
Pekan ini Mustar dipanggil sebagai saksi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Jakarta. Ia dipanggil bersama lima warga Leuwinanggung lainnya, dua di antaranya adalah mantan Ketua RW dan seorang bekas pemilik lahan.