TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Permintaan maaf Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) terkait kebakaran hutan yang menimbulkan asap besar bagi negara Singapura, dan Malaysia sebagai bukti bahwa pemerintah tak mampu menegakkan hukum bagi pengusaha besar, yang mengorbankan hutan selama ini.
“Permintaan maaf presiden itu justru menjadi pertanyaan dunia internasional atas tak tegaknya hukum bagi pelanggar pembakar hutan untuk perluasan usahanya. Apalagi pemerintah tak mau menandatangani ratifikasi kebakaran hutan dengan segala konsekuensinya, dan kita memang tak pernah serius menangani pelanggaran ini,” kata pengajar hukum lingkungan Universitas Indonesia, Andri G. Wibisana, Ph.D dalam dialog ‘Asap dan Jati Diri Bangsa’ bersama Ketua Komisi II DPR RI FPG Agun Gunandjar Sudarsa dan Ketua Komisi I DPR RI Mahfudh Siddiq di Gedung MPR RI Jakarta, Senin (1/7/2013).
Menurut Andri, wajar kalau Singapura mendesak pemerintah Indonesia untuk menyelesaikan masalah asap tersebut secara hukum, menyadari negaranya sudah meratifikasi soal kebakaran hutan tersebut. Bahwa ada prinsip-prinsip tak melanggar hak asasi manusia, tak boleh merugikan wilayah negara lain, dan tak melanggar hukum lingkungan.
“Jadi, Indonesia harus bertanggung jawab. Persoalannya, kita memang tidak menandatangani perjanjian internasional atau ratifikasi kebakaran hutan,” katanya.
Agun Gunandjar mengakui jika pemerintah belum siap menghadapi era global dalam menegakkan prinsip-prinsip demokrasi, HAM, supremasi hukum, dan lingkungan. Padahal, sekarang ini tak ada satu negara pun yang bisa maju, tanpa membutuhkan negara lain.
“Presiden harusnya tak cukup minta maaf, tapi juga mendesak Singapura dan Malaysia, agar ikut mewujudkan ketertiban dunia, perdamaian, dan keadilan sosial dengan menindak perusahaan mereka yang beroperasi di Indonesia, yang terbukti melanggar hukum. Ini norma politiknya sebelum meminta maaf,” ujarnya.
Mahfuh Siddiq mengatakan 52 persen kebakaran hutan itu memang untuk perluasan lahan baru, yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan besar Singapura, dan Malaysia. Karena itu, sejak tahun 2009 dalam konvensi perubahan iklim semua negara khususnya Indonesia sebagai negara terbesar ketiga penyumbang emisi karbon, diminta menguranginya dari efek rumah kaca dan kebakaran hutan itu.
“Komitmen kita sudah baik, hanya tidak mampu menghadapi kekuatan pasar domestik dan global. Maka aneh, kalau minta maaf, sementara pelakunya perusahaan Singapura dan Malaysia sendiri?” kata Mahfudh.