TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mantan Menteri Hukum dan HAM (Kemenkum dan HAM) Patrialis Akbar menilai apa yang terjadi dengan kaburnya Napi di Lapas Tanjung Gusta, Medan akibat para napi sudah putus asa dengan kondisi Lapas yang tidak memadai dan tidak layak.
“Mereka kabur karena putus asa tak akan dapat remisi dan akibat kondisi Lapas yang over kapasitas, dan tak layak. Padahal, Napi itu sama dengan kita semua yang harus diperlakukan secara manusiawi. Tak ada diskriminasi. Apalagi air, makan, WC, kamar tidur, listrik dan sebagainya bermasalah dan tak layak,” kata Patrialis Akbar dalam diskusi ‘Kerusuhan Lapas Tanjung Gusta, Siapa Bertanggung Jawab?” bersama Anggota Komisi III DPR RI FPPP Ahmad Yani dan Anton Medan di Gedung DPR RI Jakarta, Kamis (18/7/2013).
Patrialis mengatakan, mereka juga putus asa dengan PP No.99 tahun 2012 karena tak akan mendapat remisi baik menjelang hari raya Idul Fitri 1434 H maupun pada 17 Agustus 2013 mendatang, sehingga mereka memilih kabur.
Mantan politisi PAN ini berharap Komisi III DPR RI komunikasi dengan Menkum dan HAM Amir Syamsuddin untuk merevisi PP No.99 tahun 2012 tersebut, disamping tak punya aturan peralihan kapan berlakunya tidak jelas, dan apalagi berlaku surut.
“Ini mengerikan bagi Napi terutama menjelang Idul Fitri dan 17 Agustus 2013 ini. Juga pentingnya perbaikan-perbaikan Lapas agar layak dan memadai bagi Napi itu sendiri,” ujarnya.
Mantan Napi yang terkenal dengan sebutan Anton Medan menyebut kehadiran Wamen Denny Indrayana di Lapas itu sama dengan malaikat adzab, yaitu malaikat penyiksa, karena kedatangannya di Lapas menjadi masalah bagi para Napi.
“Jadi, PP No.99 tahun 2012 yang tak memberi remisi bagi Napi, perilaku Denny yang marah-marah, bahkan menempeleng petugas Lapas maupun Napi, dan Lapas yang over kapasitas, maka itulah yang menjadikan para Napi itu melawan dan kabur. Padahal, pada tanggal 3 Juli 2013 itu saya sudah melapor ke Pak Suaib di Lapas Tanjung Gusta, dan juga Wamen Denny, tapi Denny tak merespon,” kata Anton Medan.
Anton Medan sendiri sebagai mantan Napi pernah menghuni 14 Lapas selama 18 tahun 7 bulan sejak tahun 1976. Sehingga mengetahui kondisi 476 Lapas se-Indonesia, karena masih terus komunikasi dengan teman-temannya yang menjadi Napi.
“Sayangnya, ketika saya memberi tahu Pak Denny, beliau bilang berbuka bersama di Istana Negara. Padahal, persoalan itu bukan saja di Lapas Tanjung Gusta, melainkan di seluruh Lapas. Selain over kapasitas, kondisi keseluruhan juga tak layak,” katanya.
Selain melakukan perbaikan-pembangunan Lapas, pemerintah juga harus mencabut PP. No.99 tahun 2012 tersebut karena para Napi yang seharusnya mendapatkan remisi, malah tertunda.
“Dengan PP itu, Napi yang harus mendapat remisi harus mempunyai surat bukan sebagai justice collaborator. Apalagi Napi narkoba tak dapat remisi,” ujarnya.
Ahmad Yani mendesak Wakil Kementerian Hukum dan HAM Denny Indrayana kembali sebagai aktivis LSM daripada menjadi Wamen, karena sejak menjadi Wamen justru menjadi masalah dengan penerbitan PP No.99 tahun 2012 tentang pemberian remisi.
“Selama ini kehadiran Denny sebagai Wamen justru menambah masalah dan tak pernah menyelesaikan masalah. Dia ini masih berpikiran bahwa Napi itu harus di penjara, dan bukannya dibina. Karena itu sebaiknya Presiden SBY mengembalikan Denny ke habitatnya di LSM, dan bukannya sebagai Wamen,” kata Ahmad Yani.