TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Praktik dinasti politik di Indonesia kian mengkhawatirkan. Karena, kebanyakan hanya ingin melanggengkan oligarki kekuasaan.
Parahnya lagi, bila lingkaran utama dari dinasti politik pernah terjerat kasus korupsi. Sehingga, harus dicegah karena akan membangkrutkan demokrasi.
Menurut pengamat politik dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Arie Sudjito, praktik dinasti politik makin tak sehat, terutama dalam panggung pilkada.
Arie mencontohkan di Sumatera Selatan (Sumsel), di mana Maphilinda, istri mantan Gubernur Sumsel Syahrial Oesman yang merupakan narapidana korupsi, maju sebagai calon wakil gubernur berpasangan dengan Herman Deru.
Menurut Arie, secara politik, Maphilinda berhak dicalonkan dan mencalonkan diri. Namun, bila dilihat dari fatsun politik, ia kurang layak diusung.
"Itu adalah contoh bagaimana demokrasi Indonesia masih mengalami pendangkalan, saat etika tidak pernah menjadi dasar dalam berpolitik," ujar Arie, Minggu (28/7/2013).
Ia menilai, pencalonan Maphilinda tak layak dilakukan. Meski secara hak dan aturan dimungkinkan, partai semestinya juga memertimbangkan etika politik dalam pencalonan kepala dan wakil kepala daerah.
"Tapi, selama ini begitu banyak aturan tidak memiliki makna apapun, karena nilai-nilai etika tidak diperhatikan," tuturnya.
Pencalonan Maphilinda yang merupakan istri napi korupsi, menurut Arie hanya akan membuat kontrol terhadap kekuasaan kian sulit. Akibat lebih jauhnya, kekuasaan makin liar dan tidak terkontrol serta cenderung korup.
"Dalam konteks inilah, dinasti politik sesungguhnya menjadi bagian dari menyusutnya etika," kata Arie.
Apa yang terjadi di Sumatera Selatan, papar Arie, memerlihatkan bahwa demokrasi telah dimanipulasi oleh hasrat kuasa politisi, yang menyiasati aturan dengan berlindung lewat dalih prosedur administrasi.
"Sayangnya, publik dan pemilih terlalu apatis, bahkan sebagian besar pragmatis. Sehingga, dinasti politik makin merajalela," bebernya.
Bahkan, Arie melihat sikap kritis kian menipis. Karena itu, elemen masyarakat yang masih kritis mesti bersikap, untuk tak lelah berikhtiar mencegah politik dinasti yang terbukti korup.
"Tantangan serius ke depan adalah bagaimana melakukan perombakan besar untuk mengatasi korupsi politik dinasti dan praktik oligarki," paparnya.
Ia berpendapat, politik akuntabel dan populis yang didasari ideologi, sangat diperlukan. Karena, bila dinasti politik yang terbukti pernah korupsi menguasai lingkar kekuasaan, demokrasi pun akan makin bangkrut.
"Karena digerogoti koruptor dalam lingkaran kekuasaan. Ini bahaya bagi masa depan politik Indonesia," imbuhnya. (*)