TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Usai penangkapan Kepala SKK Migas, Rudi Rubiandini (RR) oleh KPK, ada usulan sebagian pihak untuk membubarkan institusi pengganti BP Migas tersebut.
Hikmahanto Juwana, Guru Besar FHUI, mengatakan keinginan tersebut tidaklah relevan, karena dalam doktrin hukum pidana institusi harus dipisahkan dari personil yang menjabat dalam institusi.
"Perbuatan RR adalah perbuatan pribadi yang tidak dapat diatribusikan atau ditarik ke institusi," katanya dalam keterangan tertulis, Sabtu (17/8/2013).
Menurut dia, analoginya bila pejabat tinggi suatu Kementerian atau Institusi Hukum kedapatan melakukan korupsi, tidak berari Kementerian atau Institusi Hukum tersebut harus dibubarkan.
Oleh karenanya tindakan oknum yang terindikasi korupsi pada prinsipnya tidak boleh memanfaatkan fasilitas negara, termasuk biaya pengacara.
Selain itu, perlu dipahami dalam konteks tata kelola Industri Minyak dan Gas sepanjang rezim yang dianut adalah rezim kontrak maka institusi seperti SKK Migas, BP Migas yang telah dibubarkan ataupun Pertamina berdasarkan UU 8 Tahun 1971 tetap dibutuhkan.
Hal ini mengingat berdasarkan rezim kontrak maka negara sebagai pemilik wilayah pertambangan di Indonesia berkontrak dengan 'penggarap' atau kontraktor.
"Pertanyaannya siapakah institusi dalam negara yang berkontrak dengan penggarap? Apakah negara secara langsung berkontrak? Dalam hal ini diwakili oleh Kementerian atau seperti saat ini SKK Migas," katanya.
Ataukah negara mendirikan institusi terpisah seperti Pertamina berdasarkan UU 8/1971 atau BP Migas yang telah dibubarkan.
Menurut dia, pilihan-pilihan ini tentunya ada keuntungan dan kerugiannya. Ini yang nantinya diatur dalam amandemen UU Migas pasca pembubaran BP Migas oleh MK.
Untuk diketahui institusi yang mewakili Negara akan tidak dibutuhkan bila rezim yang dianut dalam industri Migas adalah rezim izin sebagaimana yang dianut dalam industri pertambangan mineral dan batu bara saat ini.