TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Bila ada pelanggaran hukum atas kerusakan atau pencemaran lingkungan, maka pelaku harus dikenakan UU 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Itu dikatakan Asep Warlan Yusuf, ahli hukum dari Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) Bandung, saat memberikan keterangan keahliannya sebagai pakar hukum, dalam persidangan perkara dugaan korupsi bioremidiasi PT Chevron Pacific Indonesia (CPI).
Sidang menjerat General Manager Sumatera Light South (SLS) PT Chevron Pacific Indonesia (CPI), dengan terdakwa Bachtiar Abdul Fatah, di ruang sidang
Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (23/9/2013).
"Ketika ada pelanggaran lingkungan hidup, misalnya dalam pasal 59, maka penyelesaiannya adalah pidana lingkungan hidup dengan UU Nomor 32 Tahun 2009, seperti di antaranya juga pasal 102," tutur Asep.
Menurutnya, untuk bisa menjatuhkan hukuman sebagaimana diatur dalam UU Lingkungan Hidup, setelah perusahaan punya izin mengolah limbah B3 misalnya, maka pemerintah akan menilai apakah perusahaan tersebut menaati sejumlah ketentuan sebagaimana diatur UU, atau tidak.
"Pemerintah melakukan fungsinya, melaksanakan pengawasan untuk memastikan ketataatan terhadap izin, maka dia akan menentukan sejauh
mana tingkat ketaatan itu. Kalau ketaatannya rendah, jauh dari yang ditentukan UU, maka pemerintah akan meningkatkan pengawasannya untuk memastikan peningkatan tingkat kepatuhannya," papar Asep.
Namun, imbuh dia, jika satu perusahaan sudah melakukan apa yang disyaratkan UU Lingkungan Hidup dan pemerintah sudah melakukan pengawasan, diskusi, pemberian proper, dan lainnya, maka itu menunjukkan adanya upaya nyata dalam pengendalian pengelolaan limbah.
"Hasil pengawasan itu yang akan menentukan ada atau tidaknya pelanggaran. Tapi, ada pengawasan, diskusi, proper, itu artinya ada pengendalian secara faktual, meskipun izinnya sudah berakhir," jelas Asep.
Menurutnya, dalam UU 23/1997 tentang Pencemaran, sulit membuktikan terjadinya pencemaran. Sehingga, dalam UU 32/2009, baru dimasukkan standar tentang pencemaran, untuk membuktikan telah terjadinya pencemaran air, tanah, dan udara.
"UU 23 Tahun 1997, pencemaran itu sulit dibuktikan, karena setiap orang yang memasukkan satu zat dan mengubah peruntukkannya, maka dipidana, tapi itu sulit dibuktikan di pengadilan. Karena itu, UU 32 memberikan kemudahan untuk membuktikannya, yakni barang siapa memasukkan satu zat pada lingkungan dan melampaui baku mutunya, maka itu dinyatakan pencemaran," bebernya.
Asep merinci, pencemaran tersebut dirumuskan dalam dua jenis norma, yakni delik formal dan delik materiil. Pasal 100 contohnya, terang Asep, merupakan pasal subsideritas yang mengatakan, dalam hal terjadinya pelanggaran terhadap baku mutu emisi, maka dapat dipidana.
Meski demikian, paparnya, kita juga harus melihat ayat 2 pasal 100, yang mengatur jenjang pemidanaan itu, yakni pertama, harus ditegur agar tidak mengulangi perbuatannya.
"Tanpa itu dilakukan, maka tidak bisa dipidana langsung, tapi harus ada sanksi administrasi berupa pasal 76, yakni teguran tertulis, pembekuan izin, dan seterusnya. Jadi, sanksinya diatur pasal 76," imbuhnya," ujarnya.
Asep menegaskan, jika itu sudah dilakukan, namun pihak perusahaan tetap saja mengulangi perbuatannya, maka baru bisa dipidanakan.
"Dengan itu, kita mengutamakan pidana dibelakangkan sebelum ada sanksi administrasi," katanya.
Usai mendengarkan pendapat pakar hukum Asep Warlan, majelis hakim memeriksa terdakwa Bachtiar terkait kedudukannya sebagai GM, dan kaitannya dengan sejumlah prosedur proyek bioremediasi.
Jaksa penuntut umum juga menyodorkan sejumlah pertanyaan terkait perizinan proyek bioremediasi.
Terdakwa Bachtiar Abdul Fatah mengaku bingung atas perkara yang melilit dirinya, hingga bergulir di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, pasca-gugatan praperadilan atas sah atau tidaknya penahanan dan penetapan tersangka terhadapnya, dikabulkan Pengadilan Negeri Jakarta
Selatan.
"Kami ajukan praperadilan, ada dua poin putusan, penahanan tidak sah dan penetapan status tersangka saya tidak sah," ucap Bachtiar.
Setelah putusan itu, ada dua panggilan dari penyidik Kejaksaan Agung, tapi Bachtiar tidak memenuhi kedua panggilan tersebut.
"Saya berkonsultasi, tidak ada alasan untuk menghadiri panggilan itu untuk di-P21-kan. Keputusan praperadilan menyatakan, status tersangka saya sudah gugur. Kami bersurat ke Kejagung untuk menyatakan keberatan untuk dinyatakan P-21 tadi. Saya dipanggil dua kali dan kami balas juga," ungkapnya.
Karena tidak memenuhi panggilan, jaksa menjemput paksa Bachtiar. Bachtiar dibawa ke Gedung Bundar Kejaksaan Agung dan diminta menandatangani sejumlah surat.
"Waktu itu saya ditekan, saya terpaksa tanda tangan sesuatu meski dengan nota tidak setuju. Saya enggak mau tanda tangan. Tapi kata jaksa, ini hanya berita jalan ke PN Jaksel," tuturnya.
"Saya pikir kalau surat jalan tidak ada masalah. Pada saat P-21-kan, saya tidak mau, dan akhirnya saya dipaksa menandatangani surat kedua oleh Rudi Hartono dan langsung menunjukkan satu surat lagi, surat penahanan dan saya tidak punya pilihan, sehingga saya tanda tangan saja. Tidak ada alasan kenapa saya ditahan, saya sempat tanya," urainya.
Bachtiar juga mengaku, pasca-gugatannya dikabulkan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, penyidik tidak melakukan penyidikan ulang.
"Saya tidak pernah diperiksa ulang," imbuhnya. (*)