TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Anggota Komisi III DPR RI Syarifuddin Suding menilai pertimbangan hakim Mahkamah Konstitusi (MK) dalam memutuskan suatu perkara khususnya dalam sengketa Pilkada banyak yang tidak didasari pada kajian mendalam terhadap fakta-fakta hukum yang muncul di persidangan dimana ada kecenderungan hakim MK sering memutus sengketa Pilkada berdasarkan bukti-bukti dan saksi-saksi seadanya.
“Maka wajar kalau pasca tertangkapnya Akil Mochtar itu, banyak kekecawaan terhadap MK sampai terjadi amuk massa dalam persidangan beberapa waktu lalu itu. Mereka ternyata bermain dengan uang, dan kenegarawanannya telah hancur,” kata Sudding dalam diskusi "Menggugat Konstitusionalitas Putusan MK Yang Bersifat Final dan Mengikat Dalam Sengketa Pilkada" di gedung DPR RI di Gedung DPR RI Jakarta, Kamis (21/11/2013).
Oleh karena itu, Sudding menilai MK saat ini tidak beda jauh seperti pengadilan umum yang mulai kehilangan kewibawaannya sebab persepsi masyarakat bahwa isu transaksional di MK selama ini ternyata benar adanya dengan tertangkapnya Ketua MK Akil Mochtar.
"Maka seharusnya Akil Mochtar itu dihukum mati dan tak ada terobosan hukum yang dilakukan MK. Dan seharusnya hakim-hakim MK itu, mempertaruhkan marwah kenegarawanannya dan seteril dari kepentingan politik manapun,” katanya.
Dalam kasus itu dia mencontohkan sengketa Pilkada Sumbawa Barat. Menurut Sudding idealnya ada fatwa dalam kasus Pilkada Sumbawa Barat karena ada dua putusan yakni dari MK dan putusan PN Sumbawa Barat Daya.
Di tempat yang sama, Mantan Hakim Konstitusi Prof Has Natabaya menilai fatwa tak bisa diberikan untuk kasus tersebut, karena sudah diputus MK. “Kalau dikeluarkan fatwa terhadap perkaya yang sudah diputus, maka akibatnya tidak ada kepastian hukum dan itu berlaku di negara-negara di dunia,” kata dia.
Dijelaskan fatwa itu dikeluarkan harus ada batasan-batasan yang jelas secara hukum.
"Kalau tanpa batasan hukum yang jelas, maka dengan fatwa itu akan menambah tidak adanya kepastian hukum,” tegasnya.
Namun demikian Sudding, masih yakin diperlukan fatwa hukum MK atas temuan baru dari PN Sumbawa Barat Daya, yang memenangkan Cornelius.
Sudding mendesak Kemendagri tidak mengeksekusi putusan MK tersebut, karena ada dua putusan yang berbeda.