TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Penyadapan seluler yang dilakukan intelejen Australia terhadap presiden Republik Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) beserta istrinya Ani Yudhoyono menimbulkan reaksi keras dari pemerintah serta elemen masyarakat lainnya.
Polri sebagai sebuah lembaga yang menjalin kerja sama dengan pihak Australia terutama dalam penanganan transnasional crime tidak menampik, sebagian peralatannya merupakan hibah dari pemerintah Australia.
Kecurigaan sempat muncul bahwa peralatan cyber yang kini dimiliki Polri dijadikan alat oleh Australia untuk melakukan penyadapan. Untuk Itu Polri pun akan mengevaluasi semuanya.
Kepala Divisi Humas Polri Irjen Pol Ronny Franky Sompie mengungkapkan bahwa di era globalisasi saat ini penggunaan IT sangat membantu pengungkapan berbagai perkara kejahatan.
Peralatan IT yang digunakan Polri masih tergantung dari produksi luar negeri, satu diantaranya Australia.
"Apakah IT yang kita beli, ataupun menjadi hibah dari negara yang membantu dari kepolisian Indonesia untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang sifatnya mendukung penyidikan termasuk densus 88 harus kita antisipasi dan akan segera dievaluasi," ungkap Ronny di Mabes Polri, Jakarta Selatan, Kamis (21/11/2013) kemarin.
Ronny berkeyakinan Densus 88 Antiteror Polri yang sebelumnya berada di bawah Bareskrim Polri sudah dari awal mengetahui kemungkinan-kemungkinan dilakukan penyadapan. Sehingga tentu saja harus ada penjelasan yang konprehensif mengenai perlatan yang digunakan Densus 88 Antiteror Polri saat diterima dari pihak Australia.
"Mengantisipasi hal itu, saya harus menanyakan apakah ada kemungkinan segala macam data yang ada di Densus 88 itu tersadap dan terekam dan bisa disalahgunakan untuk kepentingan negara lain, termasuk dari Australia," ungkapnya.
Ronny tidak menampik bahwa hibah peralatan cyber crime yang kini dimiliki Polri merupakan bantuan dari Australia dalam bentuk hibah. Bila ada niat lain dalam pemberian hibah tersebut, tentu Polri akan menunda kerjasama selanjutnya dengan Australia.
"Tapi kemudian apakah kemungkinan ini akan dilakukan penyadapan, tentunya kita perlu mengantisipasinya," ujarnya.
Selain itu, Indonesia sebagai jalur perlintasan orang-orang pencari Suaka dari Timur Tengah menuju Australia merupakan bagian dari yang dikerjasamakan Indonesia dan Australia.
Pengungkapan kasus people smuggling yang dilakukan kepolisian Indonesia justru menguntungkan Australia dan Indonesia menjadi penampung para pencari Suaka ke Australia. Tentu hal tersebut menimbulkan masalah baru bagi Indonesia karena harus mengembalikannya ke negara asal.
Ke depan tentunya kerjasama ini pun akan dievaluasi Polri dengan petunjuk dari presiden RI. "Semua tergantung arahan dari Bapak presiden sebagai pimpinan tertinggi. Jadi kita akan menunggu arahan dari presiden," ujarnya.
Pihaknya akan melakukan evaluasi apa keuntungan dari kerjasama penanganan People Smuggling yang dilakukan Polri dengan Australia.
"Kita memang harus mengevaluasi apa keuntungan Indonesia dalam melakukan kerjasama. Mungkin ada hal lain yang menjadi pertimbangan, Polri selaku salah satu aparat penegak hukum mengikuti arahan pemerintah (RI)," ujarnya.