TRIBUNNEWS.COM - Pemerintah Staf Khusus Presiden Bidang Ekonomi Firmanzah mengatakan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sangat berhati-hati untuk memutuskan apa yang akan diambil Indonesia terhadap desakan meratifikasi FCTC (Framework Convention on Tobacco Control).
Menurutnya, pemerintah menghadapi dilema ketika berhubungan dengan FCTC. Dalam satu sisi, pengendalian tembakau menyangkut persoalan kesehatan masyarakat, tetapi di sisi lain industri tembakau merupakan tempat bergantungnya jutaan orang petani.
“Pemerintah menjadi ada di dua kaki. Harus mempertimbangkan aspek kesehatan, selain itu juga perlu mempertimbangkan nasib petani,” ujar Firmanzah dalam keteranganya, di Jakarta.
Ia menegaskan, hingga kini belum bisa menjelaskan posisi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam persoalan ratifikasi konvensi pengendalian tembakau yang dibesut WTO itu.
Menurutnya pemerintah harus mempertimbangkan lebih dalam soal ratifikasi ini. Sebab, hal itu akan berpengaruh juga terhadap nasib jutaan petani tembakau.
Mengenai surat keberatan serikat petani tembakau ke istana yang isinya meminta presiden tidak mendukung ratifikasi, menurutnya akan segera ditanggapi presiden.
“Saya belum lihat ke sekretariat negara untuk mengetahui isinya, tapi kalau sudah masuk tentu akan dibahas,” ujarnya.
Sebelumnya, Ketua Umum Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI), Abdus Setiawan mengungkapkan ratifikasi ini pasti akan berdampak pada petani tembakau.
Menurutnya dampak ratifikasi ini sangat signifikan bagi petani tembakau karena FCTC bersifat dinamis dalam penggunaan bahan baku yang membatasi kadar nikotin dan pengunaan tembakau dalam rokok karena alasan kesehatan.
"Ratifikasi FCTC ini kental nuansa politik ketimbang keberpihakan pada rakyat karena kebijakan ini bakal menghantam para petani tembakau ke depannya," katanya.
Dengan kesulitan ini maka pemerintah harus mempertimbangkan juga potensi bencana ekonomi bagi petani tembakau dan industri dalam negeri, jika FCTC dilakukan. Jangan sampai pemberlakuan FCTC malah membuat Indonesia malah dijajah industri rokok asing.