TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Wakil Ketua MPR RI Ahmad Farhan Hamid berpendapat potensi konflik di pemilu 2014 ada pada penyelenggara pemilu khususnya Komisi Pemilihan Umum (KPU) pusat sampai daerah.
Menurutnya, potensi konflik tersebut tak lagi ada pada masalah ideologi, rakyat, maupun tokoh karena dalam tataran itu sudah selesai dan sudah teruji sejak pemilu pascareformasi 1998.
“Pemilu sebagai rangkaian pergantian kekuasaan setiap lima tahun ini merupakan cara yang paling sehat sesuai konstitusi. Apalagi masyarakat dengan berbagai keragaman agama, suku, etnis, bahasa, dan sebagainya ini sudah selesai dengan persoalan ideologi,” ujar Farhan Hamid dalam diskusi ‘Tahun politik dan potensi konflik jelang pemilu 2014’ bersama anggota Komisi V DPR RI FPAN Teguh Juwarno, dan pakar komunikasi politik UMB Heri Budianto di Gedung MPR/DPR RI Jakarta, Senin (25/11/2013).
Menurutnya, potensi konflik bisa dilihat dari kacaunya 10,4 juta daftar pemilih tetap (DPT) yang tak terselesaikan, nasib kertas suara sisa yang tidak dicoblos di tempat pemungutan suara (TPS), dan sebagainya.
“Sisa suara di TPS yang tidak dicoblos oleh pemilih dengan berbagai alasan, bagi masyarakat daerah itu bisa menjadi sumber konflik karena sangat menentukan apakah mereka bisa duduk di DPRD atau tidak? Sementara mereka ingin sekali wakil etniknya mewakili di DPRD,” katanya.
Farhan Hamid juga tidak melihat tokoh baik caleg maupun capres akan menjadi pemicu konflik karena masyarakat tak lagi fanatik dengan seseorang yang didukungnya. Karena itu baik Pileg maupun Pilpres akan berjalan normal dan damai.
“Memang ada peluang konflik internal parpol, tapi itu akan sangat tergantung peraturan internal sendiri. Juga tentang nomor induk kependudukan (NIK) e-KTP itu harusnya selesai sehingga satu NIK untuk semua keperluan administrasi kependudukan termasuk pemilu,” ujarnya.