TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - PBNU meminta pemerintah untuk mendukung sikap India yang tidak ingin menegoisasikan masalah cadangan pangan demi membela kepentingan nasional, melindungi rakyat untuk mendapatkan harga pangan yang murah.
Hal itu ditegaskan KH. Abbas Mu’in dalam keterangan tertulisnya pada wartawan di Jakarta, Jumat (6/12/2013) malam menyikapi pelaksanaan Konferensi Tingkat Menteri World Trade Organization (KTM WTO) ke-9 di Nusa Dua, Bali.
Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) berkewajiban mengingatkan pemerintah, dalam hal ini Menteri Perdagangan Gita Wiryawan untuk tidak mengeluarkan atau menghasilkan kesepakatan yang merugikan petani. Khususnya terkait agenda pencabutan subsidi pertanian.
"Karena itu pemerintah perlu mempertimbangkan keluar dari WTO karena banyak madharatnya daripada manfaatnya," katanya.
Menurut KH. Abbas Mu’in, bagi rakyat Indonesia, lebih bermanfaat kalau KTM WTO Bali tidak menghasilkan kesepakatan. Gita Wiryawan jangan berbuat naïf untuk mengikuti keinginan negara Barat. Padahal mereka bertahun-tahun mempertahankan subsidi untuk petaninya.
“Jadi, jangan mengorbankan kepentingan rakyat untuk mendapatkan pujian karena mempertahankan kesepakatan internasional,” tegasnya.
Menurut KH. Abbas, Indonesia adalah negara dengan jumlah penduduk terbesar ke-4 di dunia dengan 250 juta yang sebagian besar masih mengandalkan sektor pertanian. Persaingan dengan produk pangan impor akan berakibat pada matinya petani Indonesia yang memiliki daya saing lebih rendah. Indonesia bahkan harus tampil sebagai pemimpin yang memperjuangka kepentingan negara berkembang.
Untuk keanggotaan Indonesia di WTO, selama ini WTO diharapkan PBNU, lebih menguntungkan negara-negara dengan suprastruktur pertanian, teknologi dan jaringan yang kuat, dan merugikan negara berkembang seperti Indonesia. Karena itu sudah seharusnya pemerintah RI mempertimbangkan keluar dari keanggotaan WTO.
PBNU memandang bahwa dari aspek kepentingan masyarakat, keanggotaan Indonesia di WTO lebih banyak madharat-negatifnya daripada manfaatnya.
“Indonesia lebih baik menggunakan pendekatan hubungan bilateral dalam hal perdagangan tanpa harus bergantung dan terikat dengan WTO,” kata KH. Abbas.