Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ferdinand waskita
TRIBUNNEWS.COM - Tim Pengawas Century mendesak penegak hukum untuk segera memeriksa Bank Indonesia, penanggungjawab Bank Mutiara dan LPS (Lembaga Penjamin Simpanan). Hal itu dilakukan karena adanya dugaan potensi kejahatan perbankan dan kebohongan publik. Sebab, dalam annual report Bank Mutiara sejak 2009-2012 dilaporkan selalu membukukan laba.
"Kenapa tiba-tiba bank tersebut menjadi gawat darurat?" tanya anggota Timwas Century Bambang Soesatyo, Minggu (22/12/2013).
Ia mengatakan penggelontoran dana talangan Rp,1,5triliun ke Bank Mutiara yang dulu bernama Bank Century, menimbulkan kecurigaan upaya perampokan kembali dana masyarakat yang ada di LPS menjelang pemilu 2014. Pasalnya, pertanggungjawaban atas dana talangan sebelumnya Rp.6,5triliun menjelang pemilu 2009 juga belum jelas.
"Kalau kredit yang sekarang macet dan bikin CAR Bank Mutiara turun adalah kredit yang sudah macet sejak Bank Century dulu, maka ada dugaan bahwa BI sengaja menyembunyikan informasi Bank Century yang sebenarnya, agar SMI (Sri Mulyani) mau membailout Bank Century," katanya.
Namun, bila hal itu datangnya setelah jadi Bank Mutiara, maka manajemen Bank Mutiara terbukti tidak profesional. Padahal, kata Bambang, sudah dinilai sukses, makanya dirut bank tersebut dipromosikan menjadi dirut BTN.
Menurut Bambang, kejanggalan ini tidak bisa dibiarkan dan harus dibongkar. "Agar tidak terulang kembali skandal Bank Century jilid 2. Dan jangan-jangan talangan Rp 1,5triliun itu juga tidak cukup dan harus ditambah lagi. Sama seperti modus saat menyelamatkan Bank Century. Dari awalnya Rp 632 miliar pada 21 November 2008, dalam waktu tiga hari bengkak menjadi Rp 2,7triliun dan akhirnya menjadi Rp 6,7triliun menjelang pilpres 2009," ungkapnya.
Bambang juga mengatakan bila LPS tetap nekad mengucurkan tambahan dana talangan Rp 1,5triliun, maka sama saja menambah dalam potensi kerugian negara menjadi Rp 8,2 triliun.
"Pertanyaannya. Bagaimana uang negara tersebut bisa kembali? Sementara hingga kini Bank Mutiara dijual Rp 6,7triliun pun hingga lewat waktu yang disediakan UU tidak laku-laku," katanya.
Politisi Golkar itu mengatakan bila mengacu pada UU LPS pasal 2, bahwa lembaga tersebut bertanggung jawab ke Presiden. "Itu sama saja memberi bom waktu pada presiden yang akan datang," tuturnya.