News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Upaya Banding Putusan PTUN Soal Patrialis Dinilai Sebagai Langkah Bebal

Penulis: Y Gustaman
Editor: Hasiolan Eko P Gultom
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Hakim Konstitusi Patrialis Akbar bersama Hakim lainnya meneruskan pembacaan putusan sengketa pilkada dalam sidang yang digelar di Mahkamah Konstitusi setelah sebelumnya ditunda akibat kerusuhan, Jakarta, Kamis (14/11/2013). Sebelumnya terjadi kerusuhan dalam sidang sengketa Pemilihan Umum Gubernur dan Wakil Gubernur di Mahkamah Konstitusi yang dilakukan oleh salah satu pendukung pasangan calon gubernur dan wakil gubernur Maluku. (TRIBUNNEWS/DANY PERMANA)

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono disarankan tidak perlu lagi mengajukan banding atas putusan Pengadilan Tata Usaha Negara yang membatalkan Kepres No 87/P/Tahun 2013 terkait pengangkatan Patrialis Akbar sebagai hakim Mahkamah Konstitusi.

"Diharapkan Pemerintah tak melakukan upaya banding. Sebab, selain hal itu menunjukkan sikap bebal, juga menunjukkan sikap Pemerintah yang menentang  substansi Perpu No 1 Tahun 2013," ujar Direktur Lingkar Madani Indonesia (Lima), Ray Rangkuti di Jakarta, Selasa (24/12/2013).

Ray menambahkan, ditolaknya Kepres tersebut semakin menambah argumen bahwa penerbitannya lebih banyak didasarkan pada niat hendak menguasai mahkamah daripada memperbaikinya. Pemerintah jelas harus menghindari asumsi yang terbangun seperti ini.

Sementara kepada dua hakim yang dengan sendirinya dibatalkan, juga diharapkan tak melakukan banding. Bukan karena haknya dilarang, tapi untuk kepentingan bangsa yang lebih besar, yaitu mengembalikan semangat mengangkat hakim-hakim konstitusi dan jabatan kenegaraan lain dengan cara-cara transparan dan partisipatif.

"Cara transparan ini mulai dibuang SBY dalam mengangkat pejabat-pejabat negara yang diamanahkan kepada presiden. Putusan ini mesti dilihat sebagai cara kembalikan semangat transparansi dan partisipasi dalam pengangkatan pejabat negara, baik oleh DPR, khususnya Presiden yang terlihat mulai emoh menerapkan prinsip ini," terangnya.

Langkah banding yang tetap akan dilakukan Pemerintah, dapat dilihat sebagai upaya melestarikan semangat tertutup dan sewenang-sewenang dalam mengangkat pejabat negara. Adanya kepentingan pribadi yang terusik sudah semestinya harus diletakkan di bawah kepentingan bangsa dan negara.

"Dengan begitu pula ada kepastian untuk segera memilih hakim Mahkamah Konstitusi baru agar tidak vakum pada pelaksanaan Pemilu 2014. Dalam tiga bulan proses pengangkatan hakim Mahkamah Konstitusi masih cukup waktu untuk dapat dilaksanakan," katanya lagi.

Ray meminta Presiden sudah sepatutnya mengapresiasi putusan PTUN. Putusan ini sekaligus bukti adanya semangat independensi yang mulai tumbuh di kalangan para hakim dalam memutus berbagai perkara, khususnya sengketa antara warga negara versus pemerintah.

Jika semangat ini terus dipelihara, secara perlahan Indonesia memasuki era demokrasi yang makin kuat. Karena pilar yudikatifnya mulai mampu beradaptasi dengan alam demokrasi yang menempatkan lembaga ini sederajat dengan lembaga eksekutif atau legislatif.

Dalam amar putusan PTUN No 139/G/2013/PTUN-JKT, majelis hakim memutuskan mengabulkan gugatan penggugat yaitu Koalisi Masyarakat Sipil Selamatkan Konstitusi Vs Presiden RI. Juga menyatakan batal Kepres RI No 87/P/Tahun 2013 tanggal 22 Juli 2013.

Dalam Kepresnya, Presiden SBY mengangkat Maria Farida Indrati dan Patrialis Akbar dalam jabatan hakim Mahkamah Konstitusi. Karena amar putusan ini, Presiden wajib mencabut Kepresnya, dan menerbitkan Keputusan Tata Usaha Negara baru berdasar peraturan perundang-undangan berlaku.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini