Laporan Wartawan Warta Kota Willy Pramudya
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pasal-pasal tindak penghinaan dalam Kitab Hukum Undang-Undang Pidana (KUHP), dinilai kerap menjadi alat efektif untuk melindungi pejabat pemerintahan dari berbagai kritik masyarakat.
Menurut Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), data yang mereka himpun menunjukkan bahwa pejabat publik merupakan sosok teratas korban penghinaan. Sementara mayoritas pelakunya adalah, masyarakat biasa.
Juru Bicara ICJR Erasmus AT Napitupulu mengingatkan, kebebasan berekspresi merupakan hak asasi yang dilindungi dan dijamin oleh konstitusi. Begitu pula dengan perlindungan reputasi dan kehormatan seseorang atau kelompok orang.
"Namun ICJR menilai, pengaturan keduanya jangan sampai menganulir satu dan lainnya," kata Erasmus AT Napitupulu.
Menurut Erasmus, ada hal yang sangat menarik kalau merujuk gambaran umum penggunaan delik penghinaan di Indonesia.
Berdasarkan riset yang dilakukan ICJR terhadap putusan pengadilan untuk perkara pidana penghinaan pada tahun 2012, terdapat satu fakta yang dinilai menarik.
Fakta tersebut adalah, dalam penuntutan pidana penghinaan, masyarakat biasa menempati porsi tertinggi sebagai pelaku penghinaan dengan 160 kasus dari 171 putusan.
Sementara korban penghinaan terbesar, ditempati oleh pejabat publik atau orang-orang yang bekerja di sektor publik, yaitu 63 kasus.
"Data ini menunjukkan bahwa hukum pidana penghinaan secara efektif digunakan untuk melindungi kepentingan pejabat publik dan/atau orang-orang yang bekerja di sektor publik," papar Erasmus.
Masih menurut ICJR, harapan pun meninggi ketika Rancangan KUHP muncul untuk diperdebatkan di ruang publik.
Tapi, ternyata, rancangan tersebut tidak menunjukkan perubahan yang signifikan terhadap penghormatan akan keberadaan kebebasan berekspresi.
ICJR menemukan, secara statistik semua ancaman pidana penjara penghinaan dalam Rancangan KUHP mengalami peningkatan.
Hanya, pembuat Rancangan KUHP terkesan tidak berkaca pada tren putusan oleh pengadilan terkait pidana penjara pasal-pasal penghinaan.
ICJR mencatat, sepanjang 2012 rata-rata hukuman penjara yang dituntut oleh Jaksa adalah 154 hari (5 bulan) penjara dan hukuman penjara yang kemudian d?atuhkan oleh Pengadilan berkisar antara 108-112 hari (3 bulan - 4 bulan) penjara.
"Pola ini secara tegas menjawab bahwa tingginya ancaman hukuman dalam Rancangan KUHP kurang berdasar dapat menjawab kebijakan pemidanaan dalam Rancangan KUHP tersebut," tandasnya.