Harun bin Said memiliki nama kecil Tohir. Ia adalah anak ketiga dari Mahdar dan Aswiyani. Tohir lahir 4 April 1943, sekitar 15 kilometer sebelah utara kota Pahlawan, Surabaya. Bawean, begitu orang mengenal pulau yang ditinggali Tohir dan orang tuanya.
Sejak di bangku sekolah dasar, Tohir sudah tertarik dengan kulit-kulit kerang yang terdampar di pasir pantai Bawean daripada memperhatikan pelajaran sekolah. Tak jarang, Tohir memilih ikut nelayan berlayar ke tengah lautan, dan mengabaikan sekolah.
Hobi Tohir mengarungi lautan terus terasah hingga dirinya mengeyam pendidikan di Sekolah Menengah Atas di Jakarta. Sejak Sekolah Menengah Pertama, Tohir memilih menjadi pelayan kapal dagang. Pilihan menjadi pelayan kapal dagang diambil demi memenuhi biaya hidup di Jakarta. Soal pelajaran, ia memilih bantuan teman sekolah saat dirinya berada di negeri seberang.
"Ia telah menjelajahi beberapa negara, tetapi yang paling dikenal dan dihapal daerahnya adalah daratan Singapura," tulis Drs. Murgiyanto dalam buku bertajuk Usman dan Harun Prajurit, yang dicetak Pustaka Bahari.
Catatan Murgiyanto membeberkan, Tohir pernah berhari-hari tinggal di pelabuhan Singapura, dan bahkan mondar-mandir ikut kapal dari Singapura ke Tanjung Pinang.
Karir Tohir lalu berlanjut di Angkatan Laut sejak Juni 1964. Ia lalu menjadi sukarelawan Angkatan Laut Republik Indonesia, yang tergabung dalam Dwikora dengan pangkat prajurit KKO II atau Prako II. Selama menjadi sukarelawan tersebut, Tohir digembleng lima bulan di daerah Riau daratan sejak 1 Nopember 1964.
Usai mendapat pendidikan, Tohir lalu dikirim ke Pulau Sambu. Berada di tim Brahma I dengan komando Kapten Paulus Subekti, Tohir akhirnya berkenalan dengan Usman alias Djanatin alias Oesman bin Haji Mochammad Ali. Ia juga mendapat rekan bernama Gani bin Arup.
Berteman akrab, ketiga orang ini mendapat tugas melakukan sabotase di Singapura. Operasi dilakukan dengan strategi penyamaran. Tohir pun berganti nama menjadi Harun bin Said. (Bersambung- )