TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK mengungkap fakta peran mantan Gubernur Bank Indonesia (BI) - kini, Wakil Presiden - Boediono.
Peran Boediono terungkap saat JPU dari KPK membacakan surat dakwaan Budi Mulya dalam perkara pemberian Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP) dan penetapan Bank Century (BC) sebagai bank gagal berdampak sistemik, di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Kamis (6/3/2014).
Dari rangkaian pemaparan surat dakwaan setebal 183 halaman yang dibacakan jaksa, diketahui Boediono paling "ngotot" ingin menyelamatkan Bank Century mulai dari proses pemberian FPJP dan penetapan BC sebagai bank gagal berdampak sistemik.
Dari dakwaan itu, Budi Mulya bersama-sama Boediono dan pejabat BI setingkat Deputi Gubernur disebutkan terlibat bersama-sama melakukan tindak pidana korupsi dalam pemberian Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP) dan penetapan Bank Century (BC) sebagai bank gagal berdampak sistemik.
Perbuatan Budi Mulya bersama-sama Boediono dan pejabat BI terkait pemberian dana FPJP merugikan negara Rp 689.394.000.000 (Rp 690 miliar) dan terkait penetapan BC sebagai bank gagal berdampak sistemik telah merugikan negara Rp 6.762.361.000.000.
Total kerugian negara akibat kedua peristiwa itu mencapai Rp 7.451.755.000.000 atau Rp 7,5 triliun.
Pejabat BI yang ikut disebutkan turut bersama-sama melakukan tindak pidana korupsi dalam perbuatan Budi Mulya terkait pemberian FPJP, yakni Miranda Swaray Goeltom selaku Deputi Gubernur Senior BI, Siti Chalimah Fadjriyah selaku Deputi Gubernur BI Bidang 6 Pengawasan Bank Umum dan Bank Syariah.
Kemudian, Budi Rochadi (almarhum) selaku Deputi Gubernur Bidang 7 Sistem Pembayaran, Pengedaran Uang, PBR dan Prekreditan, serta bersama-sama Robert Tantular dan Hermanus Hasan Muslim.
Pejabat BI yang turut disebutkan bersama-sama melakukan tindak pidana korupsi terkait penetapan BC sebagai bank gagal berdampak sistemik, yakni Boediono selaku Gubernur BI, Muliaman Dharmansyah Hadad selaku Deputi Gubernur 5 Bidang Perbankan/Stabilitas Sistem Keuangan dan selaku anggota Dewan Komisoner Lembaga Penjami Simpanan (LPS).
Hartadi Agus Sarwono selaku Deputi Gubernur Bidang 3 Kebijakan Moneter, dan Ardhayadi Mitroatmodjo selaku Deputi Gubernur Bidang 8 Logistik, Keuangan, Penyelesaian Aset, Sektetariat dan KBI, serta Raden Pardede selaku Sekretaris Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK).
"Telah melakukan atau turut serta melakukan beberapa perbuatan yang ada hubungannya sedemikian rupa sehingga harus dipandang sebagai perbuatan melawan hukum," kata jaksa KMS Abdul Roni saat membacakan surat dakwaan Budi Mulya.
Peran Boediono terungkap dengan sikap dan keputusan yang diambilnya terkait pemberian FPJP dan pemberian label Bank Century sebagai bank gagal berdampak sistemik.
Jaksa memaparkan, berdasarkan hasil pemeriksaan on site supervision yang dilakukan oleh BI dari tahun 2005, 2006, 2007, dan tahun 2008 tersebut menunjukan Bank Century mengalami permasalahan struktural sejak lama.
Bahkan, pengawas BI sendiri pernah merekomendasikan untuk menutup bank tersebut. Namun, BI tidak tegas dan cenderung berusaha menutup-nutupi "borok" Bank Century itu.
Pada 29 Oktober 2008, adalah Robert Tantular selaku pemilik Bank Century mengajukan permintaan bantuan dana untuk memenuhi kebutuhan nasabah dengan mengajukan FPJP ke BI. Robert mengajukan FPJP dengan agunan aset kredit lancar lantaran Century tidak memiliki sertifikat BI.
Bersamaan permohonan FPJP tersebut tengah dilakukan Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia (RDG BI) yang dihadiri, Budi Mulya, Boediono, Miranda Swaray Gultom, Siti Chalimah Fajriah, S Budi Rochadi, Muliaman Dharmansyah Hadad, Hartadi Agus Sarwono, dan Ardhayadi Mitroatmojo.
Rapat itu mengagendakan soal penetapan Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 10/26/PBI/2008 tentang FPJP. Dalam PBI itu untuk mendapat FPJP harus memiliki Capital Adequace Ratio (CAR) sebesar 8 persen. Namun, Bank Century hanya memiliki CAR sebesar 2,02 persen.
Permohonan itu kemudian ditolak oleh Zainal Abidin selaku Direktorat Pengawas Bank 1 (DPB 1) BI.
Setelah ditolak, Robert kembali mengajukan permohonan FPJP pada keesokan harinya atau 30 Oktober 2008. Pada saat itu, Miranda Swaray Gultom memanggil Zainal Abidin dan Heru dan menanyakan alasan tidak diberikannya FPJP kepada BC.
"Anda tidak bisa menilai situasi sekarang lagi krisis dimana bank-bank mengalami kesulitan likuiditas karena krisi. Anda sebagai pengawas harus berfikir of the box," ungkap Roni menirukan kata-kata Miranda.
Selanjutnya, pada 14 November 2008, digelar rapat Dewan Gubernur BI yang juga dihadiri oleh Boediono, Miranda Swaray Gultom, Siti Chalimah Fajriah, S Budi Rochadi, Muliaman Dharmansyah Hadad, Hartadi Agus Sarwono, dan Ardhayadi Mitroatmojo. Rapat itu digelar untuk merubah PBI Nomor 10/26/PBI/2008 untuk menurunkan CAR penerima FPJP.
"Kemudian sekitar pukul 09.00 WIB, PBI Nomor 10/30/PBI/2008 tanggal 14 November tentang atas perubahan PBI Nomor 10/26/PBI/2008 tentang FPJP dan ditandatangani Boediono," tegas Roni.
Miranda, Siti Fadjiyah, S Budi Rochadi meminta menurunkan persyaratan CAR sebesar 8 persen, mengubah persyaratan kredit lancar 12 bulan, dan persyaratan yang memberatkan dibuat semua.
Padahal Halim Alamsyah selaku Direktur Direktorat Penelitian dan Pengaturan Perbankan (DPNP) bahwa pembahasan perubahan PBI Nomor 10/26/PBI/2008 tidak disiapkna bahan.
Tidak ada perubahan PBI tersebut karena kondisi tidak mendesak dan tidak berpotensi membahayakan kestabilan sistem keuangan dan perekonomian negara, dan harusnya ada pemantauan lebih dulu atas kondisi perbankan nasional.
Zainal Abidin selaku Direktur Direktorat Pengawasan Intern (DPI) bahkan berkesimpulan bahwa PT BC tidak memenuhi syarat memperoleh FPJP berdasarkan PBI di atas.
"Terdakwa Budi Mulya, Boediono, Miranda, Siti Chalimah, dan Budi Rochadi malah menyetujui pemberian FPJP sebesar Rp689,394 miliar," ungkapnya.