Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ferdinand Waskita
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisi I DPR RI mengapresiasi upaya Pemerintah RI untuk membebaskan Satinah dari hukuman mati. Ketua Komisi I DPR Mahfudz Siddiq meminta pemerintah mengambil anggaran APBN untuk memenuhi kekurangan diyat bagi Satinah.
"Dana bisa diambil dari anggaran Kemenakertrans, Kemenlu, BNP2TKI atau pos anggaran lain-lain di Kemenkeu," kata Mahfudz ketika dikonfirmasi, Kamis (27/3/2014).
Mahfudz mengatakan menyelamatkan nyawa WNI lebih penting meskipun besaran diyat tidak proporsional. Menurutnya, kasus tersebut merupakan peringatan bagi pemerintah untuk mempertimbangkan secara serius usulan Komisi I DPR untuk menghentikan pengiriman TKI di sektor informal.
"Kasus-kasus semacam ini akan terus terjadi. Pengiriman TKI sektor informal (PRT) lebih banyak keburukannya daripada kebaikannya," ujarnya.
Untuk diketahui, Satinah Binti Djumadi, TKW asal Dusun Mrunten Wetan Desa Kalisidi, Kecamatan Ungaran Barat, Kabupaten Semarang, yang kini terancam hukuman pancung di Arab Saudi, masih meringkuk di penjara menunggu nasib.
Satinah divonis bersalah oleh pengadilan Arab Saudi membunuh dan mencuri uang sebesar 37 riyal. Namun Satinah membantah dan mengaku membela diri dari siksaan majikannya.
Satinah berangkat ke Arab Saudi untuk kedua kalinya tahun 2007 dan bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Putusan hukuman mati dengan pancung tersebut ditetapkan 3 Maret 2014 lalu.
Pemerintah berusaha membebaskan Satinah dengan melakukan lobby kepada pemerintah Arab Saudi. Negosiasi itu membuahkan pengampunan dari raja Arab Saudi.
Sayangnya hukum yang berlaku di Arab Saudi juga mengatur bahwa pengampunan yang paling menentukan adalah pengampunan dari pihak keluarga korban pembunuhan.
Sejauh ini pihak keluarga majikan Satinah yaitu Nura Al Gharib meminta uang denda (Diyat) sebesar 7,5 juta riyal atau setara dengan Rp25 miliar rupiah.