Laporan Wartawan Tribunnews, Eri Komar Sinaga
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pemerintah Indonesia harus menginvestigasi dugaan permainan mafia diyat dalam kasus yang menimpa TKI. Satinah, diminta uang denda (Diyat) sebesar 7,5 juta riyal atau setara dengan Rp 25 miliar karena membunuh dan mencuri di Arab Saudi.
"Ini menjadi bisnis para calo yang selama ini sudah berlangsung lama dan dibiarkan oleh pemerintah. Harusnya ini diberantas," ujar Direktur Eksekutif Migrant Care, Anis Hidayah, kepada wartawan di KPU, Jakarta, Jumat (28/3/2014).
Selain menelusuri mafia diyat, Anis mengkritik Pemerintahan SBY dalam menyelesaikan kasus Satinah. Menurut Anis, sudah lima kali Indonesia memperpanjang pembayaran diyat tersebut.
"Sampai hari ini pemerintah masih bersikukuh tidak mau mengambil APBN untuk membayar Rp 21 miliar untuk diyatnya.
Tetapi yang saya dengar bahwa ada tim yang dikirim Pak SBY dan Pak SBY berkirim surat. Itu boleh saja dilakukan sebagai suatu upaya. Tetapi harus ingat bahwa sudah lima kali kita memperpanjang pembayaran diyat dan itu saya kira memperpanjang penderitaan Satinah dan keluarganya menunggu kepastian apakah dieksekusi atau tidak," kata Anis.
Jika pemerintah tidak mau membayarkan diyat tersebut, Presiden SBY harus datang ke Arab untuk menyelamatkan Satinah.
"Ini saya kira kalau pemerintah tidak mau bayar diyat ya SBY yang harus datang ke Arab untuk menyelamatkan. Kalau tidak berantas mafia diyat karena ini bagian dari upaya untuk menutup upaya keadilan bagi buruh migran," ujar Anis.
Sekedar informasi, Satinah akan dipancung 3 April mendatang. Satinah bersalah oleh pengadilan Arab Saudi karena membunuh dan mencuri uang sebesar 37 riyal. Namun Sutinah membantah dan mengaku membela diri dari siksaan majikannya.
Hukum yang berlaku di Arab Saudi mengatur bahwa pengampunan yang paling menentukan adalah pengampunan dari pihak keluarga korban pembunuhan. Sejauh ini pihak keluarga majikan Satinah yaitu Nura Al Gharib meminta uang denda (Diyat) sebesar 7,5 juta riyal atau setara dengan Rp 25 miliar.