TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - LSM FITRA menyesalkan pernyataan pemerintah yang mengaku kesulitan melunasi pembayaran uang diyat Satinah.
TKI itu terancam hukuman mati di Arab saudi. Untuk pembebesan satinah dari hukuman mati adalah dengan membayar diyat. Keluarga majikan meminta uang diyat sebanyak 7 juta riyal atau Rp21 miliar.
"Kesulitan pemerintah melunasi pembayaran uang diyat, sangat disesalkan. Pemerintah pura-pura saja kesulitan mencari sumber anggaran untuk membayar diyat," kata Direktur Investigasi dan Advokasi Fitra Ucok Sky Khadafi dalam keterangannya, Rabu (2/4/2014).
Ucok menilai pemerintah berpura-pura kesulitan membayar diyat. Hal itupun memperlihatkan pemerintah tidak serius membantu Satinah.
"Pemerintah untuk melunasi pembayaran diyat untuk pembebasan warga negara saja sulit sekali. Tetapi, untuk melakukan pembobolan uang negara paling gampang dan mudah dilakukan oleh pejabat negara," katanya.
Ucok mengungkapkan dua lembaga yang bertanggungjawab kepada TKI yakni BNP2TKI dan kementerian tenaga kerja dan transmigrasi banyak mengalami kebocoran anggaran negara.
Dimana, hasil audit BPK semester tahun 2013, temuan penyimpangan anggaran di BNP2TKI sebesar Rp 16,7 milyar dengan 81 kasus, sejak tahun 2009 - 2013. Dengan kebobolan anggaran sebesar Rp 16,7 milyar sudah bisa untuk melunasi satinah.
"Tetapi, ternyata anggaran negara bukan untuk membantu warga negara yang kesulitan, tetapi anggaran negara diproyeksi untuk dikorupsi untuk memperkaya diri sendiri para pejabat publik BNP2TKI," ujar Ucok.
Sedangkan pada Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, kata Ucok, ditemukan kerugian negara sebesar Rp 70,4 milyar dengan sebanyak 3.365 kasus. Ucok mengatakan kerugian negara sebesar Rp 70,4 milyar ini, berarti sudah bisa membantu atau membebeskan 3 orang TKI bila dihukum mati.
"Malahan, anggaran sebesar Rp.70.4 milyar dinikmati oleh pejabat negara melalui jalan korupsi," katanya.