TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - LBH Jakarta mengajukan gugatan Tata Usaha Negara terhadap Rektor Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta (Untag), Jumat 23/5/2014). LBH Jakarta mewakili 8 mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta yang diberikan skorsing tidak masuk akal selama 6 semester
atau maksimal pemecatan (drop out) terhadap Mamat Suryadi, Zainudin Alamon, Ade Arqam Hidayat, Arnold Dedy Salam Mau, Patrisius Berek, Muhammad Sani, Alfi Wibowo, dan Muhammad Rahmansyah.
Surat Keputusan Rektor Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta Nomor: 03/SK-REK/SM/II/2014 tentang Penerapan Sanksi Akademis bagi Mahasiswa Fakultas ISIP Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta tertanggal 3 Februari 2014 tersebut merupakan dampak atas aksi unjuk rasa pada 19-20 Desember 2013 yang lalu.
Delapan orang ini melakukan aksi unjuk rasa menentang pembubaran seluruh organisasi kemahasiswaan oleh Yayasan yang didukung oleh Rektor UNTAG ’45 Jakarta. Hal ini terjadi karena Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM), baik di tingkatan Universitas maupun Fakultas, Senat Mahasiswa Fakultas, Himpunan Mahasiswa Jurusan, Lembaga Pers Mahasiswa (LPM), Pecinta Alam UNTAG ’45 Jakarta (PATAGA), Resimen Mahasiswa, dan Unit Kegiatan Mahasiswa di bidang seni dan teater habis diberangus dan sekarang tidak aktif lagi.
Selain itu, hampir seluruh hal yang berhubungan dengan mahasiswa “diuangkan”, misalnya pungutan atas ujian susulan sebesar Rp 200.000 dan apabila mahasiswa terlambat membayar uang kuliah dikenakan denda sebesar Rp 25.000. Hal ini sangat memberatkan, padahal mahasiswa di kampus ini rata-rata berasal dari golongan ekonomi menengah ke bawah.
Dalam gugatan ini, LBH Jakarta mendalilkan Rektor Untag 1945 Jakarta sebagai Pejabat Tata Usaha Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 8 Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan atas UU No. 5 Tahun 1986 tentang PTUN.
SK Rektor tersebut juga didalilkan sebagai Keputusan Tata Usaha Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 9 undang-undang yang sama. Ada juga beberapa yurisprudensi yang serupa, misalnya Putusan Mahkamah Agung No.210K/TUN/2001 dan Putusan MA No. 61K/TUN/1999 sehingga gugatan ini dapat diterima, diperiksa, dan diadili oleh Majelis Hakim pada PTUN Jakarta.
LBH Jakarta menyatakan dalam gugatan bahwa para mahasiswa tidak sepantasnya diberikan sanksi secara arogan lantaran melakukan unjuk rasa karena aksi unjuk rasa merupakan hal yang biasa dalam negara yang demokratis dan menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia seperti Indonesia. Terlebih, hal ini dilakukan oleh mahasiswa, para “intelektual muda” yang selalu gelisah melihat lingkungannya.
Selain mengajukan gugatan, para mahasiswa korban dan LBH Jakarta akan melakukan berbagai upaya non-hukum dalam kasus ini dan mendatangi berbagai lembaga yang tugasnya sebagai regulator dan pengawas pendidikan seperti Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan serta Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) sudah menerima pengaduan mereka 2 minggu yang lalu.
"Di hari pendidikan nasional ini, kita menyaksikan bahwa masih ada institusi pendidikan tinggi di Indonesia, khususnya Jakarta yang melakukan tindakan otoritarian dan bertentangan dengan semangat pendidikan yang digaungkan oleh Ki Hadjar Dewantara. Pendidikan harus mencerdaskan, bukan membodohi," ungkap Nelson Nikodemus Simamora SH,
Public Defender Jakarta Legal Aid Institute (LBH Jakarta) dalam keterangannya kepada Tribunews, Sabtu (3/5/2014).
Atas hal-hal tersebut diatas, LBH meminta:
1. Kepada Rektor Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta agar segera mencabut sanksi akademis terhadap Sdr Mamat Suryadi, dkk.
2. Otoritas pendidikan di Indonesia seperti Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan agar turun tangan menangani pemecatan, skorsing, dan pemberangusan organisasi mahasiswa ini
3. Mahasiswa Sejabodetabek agar dapat menunjukkan solidaritas dalam kasus ini.