News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Penyerangan di Sleman

Kekerasan atas Nama Agama Dorong Orang Membenci Agama

Penulis: Srihandriatmo Malau
Editor: Y Gustaman
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Sekretaris Umum Gerakan Ekayastra Unmada, KH Maman Imanulhaq saat mengadakan kunjungan ke redaksi Tribunnews.com di Gedung Tribun, Jalan Palmerah Selatan, Jakarta Pusat, Senin (18/3/2013). Kunjungan tersebut dalam rangka silaturahmi. TRIBUNNEWS/DH SAPTO NUGROHO

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Srihandriatmo Malau

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pengasuh Pondok Pesantrean Al Mizan KH Maman Imanulhaq melihat kasus kekerasan terhadap umat beragama bisa mendorong pemahamanan baru bahwa di Indonesia  lebih baik tidak beragama daripada beragama dengan risiko teraniaya.

Kiai asal Majalengka ini menambahkan, cepat atau lambat, jika Pemerintah dan aparat kepolisian tak lekas menyelesaikan kasus ini, akan muncul pemahaman baru di masyarakat. Sekaligus menegaskan Pancasila tidak ada gunanya diamalkan jika pemerintah pun bersifat permisif atas kekerasan yang terjadi atas nama agama.

Pernyataan Maman Imanulhaq ini menanggapi peristiwa penyerangan dengan tindak kekerasan kepada sekelompok umat Katolik oleh preman berjubah di daerah Mbesi, Yogyakarta dan perusakan Gereja Kristen Jawa di Yogyakarta yang terjadi beberapa hari ini.

Menurut dia, kasus kekerasan bernapaskan agama itu ada dua substansi. Yang pertama adalah ini ada kaitannya dengan politik. Dan yang kedua adalah terkait dengan pemerintah yang tidak tegas atas kekerasan yang mengatasnamakan agama di manapun berada.

"Negara sering tidak hadir dalam kasus-kasus kekerasan atan nama agama. Jika pemerintah tegas dalam bertindak dan mengatasi kekerasan dengan atas nama agama, persoalan seperti ini akan selesai. Tidak berlarut-larut. Tidak mewabah” ujar Maman dalam rilisnya kepada Tribunnews.com, di Jakarta, Minggu (1/6/2014).

Ditambahkan Maman, persoalan kekerasan agama yang terjadi di Indonesia tidak pernah diselesaikan atau terselesaikan. Hal ini bisa dilihat dengan aparat tidak pernah melaporkan penyelesaian kasus kekerasan atas nama agama kepada publik.

Di sisi lain, kekerasan bernapaskan agama sangat kental dengan politik. Analisanya, Yogyakarta merupakan pusat kehidupan politik Indonesia. Jika Yogyakarta bisa digoyang dengan isu seperti ini maka diharapkan gemanya akan mendorong gerakan radikal juga terjadi di tempat lain atau setidaknya muncul kekacauan di mana-mana.

Hal yang sama juga bisa dilihat, menurutnya, ketika sekelompok orang merusak makam kerabat Jogyakarta, Ndoro Purbo di darah Semakin. Kasus tersebut belum ada penyelesaiannya seperti apa. Dan, kasus itu sangat jelas terkait dengan politik.

“Setiap anggota polisi harus tahu bahwa Polri dilahirkan di Seminari Menengah Mertoyudan, Magelang, sekolah pemimpin umat Katolik. Itu adalah sejarah yang tak bisa dipungkiri setiap anggotanya. Karena Polri lahir dari kelompok minoritas, maka institusi dan anggotanya harus berdiri di atas seluruh golongan dan tidak hanya sekedar melakukan tugas rutin,” tegas Maman.

Ketidaktahuan Polri akan sejarahnya, kata Maman, akan mendorong penyelesaian tugasnya setengah-setengah. Beri bukti kepada masyarakat bahwa Polri bekerja dengan baik dan tuntas terkait dengan kasus-kasus penganiayaan atau kekerasan atas nama agama. Bukti itu juga perlu untuk menegaskan bahwa di Indonesia memang masih ada Pancasila.

“Bagi para intel polisi, sebenarnya gerakan yang semacam ini sangat mudah terdektesi. Namun selalu dalam setiap kasus, seperti halnya di film, polisi terlambat datang menyelesaikan masalah yang ada dalam masyarakat. Sungguh, kita perlu bukti bahwa Polri memang menjunjung tinggi Pancasila juga dan tidak hanya sekedar slogan,” tandasnya.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini