“Buta yang terburuk adalah buta politik, dia tidak mendengar, tidak berbicara, dan tidak berpartisipasi dalam peristiwa politik. Dia tidak tahu bahwa biaya hidup, harga kacang, harga ikan, harga tepung, biaya sewa, harga sepatu dan obat, semua tergantung pada keputusan politik. Orang yang buta politik begitu bodoh sehingga dia bangga dan membusungkan dadanya mengatakan bahwa dia membenci politik. Si dungu tidak tahu bahwa dari kebodohan politiknya lahir pelacur, anak terlantar, dan pencuri terburuk dari semua pencuri, politisi buruk, rusaknya perusahaan nasional dan multinasional” – Bertolt Brecht
Wajah perpolitikan negeri sudah sedemikian suram. Partai politik yang seyogyanya memperjuangkan aspirasi rakyat, malah sebaliknya justru mempertontonkan perilaku politik yang kurang elok. Apapun dilakukan untuk memperoleh dukungan. Masa bodoh yang penting ambisi kekuasaan tercapai.
Janji–janji manis calon pemimpin pada saat kampanye sunggulah menggugah. Walaupun pada akhirnya, janji tinggal janji. Tidak ada perubahan yang dirasakan untuk menjadi lebih baik. Rakyat dibohongi, termakan janji politisi pemberi harapan palsu. Omong kosong yang nyaring bunyinya.
Rakyat Indonesia sungguh mendambakan sosok pemimpin tulus yang mampu mewujudkan harapan atas kesejahteraan. Kita butuh seorang sosok yang bisa menjadi teladan dan mampu menerobos kebuntuan politik selama ini. Rakyat ingin pemimpin baru yang mampu mengembalikan kepercayaan rakyat pada proses politik.
Saya rasa mungkin sekarang saat yang tepat. Pemilihan presiden sudah di depan mata. Sebentar lagi Indonesia mempunyai presiden yang baru. Kali ini menarik. Calon presiden saling membenturkan kepalanya, head to head. Mari kita pilih calon yang terbaik diantara dua yang ada.
Pilih sosok yang dianggap mampu mewujudkan mimpi kita terhadap Indonesia. Pilih orang yang sudah terbukti kinerjanya, karena presiden bukan ajang coba-coba berhadiah. Jangan pilih calon presiden yang masih berbau-bau politik kelam masa lalu. Kita butuh pemimpin yang segar, harapan baru. Untuk Indonesia Baru.
Saya tidak memilih untuk diam dan mendiamkan. Dan dengan sadar saya mendukung Jokowi sebagai presiden republik yang saya cintai ini. Bagi saya, beliau memang yang terbaik.
Untuk itu, mungkin saya perlu sedikit bercerita …
Solo Karir
Segar dalam ingatan, sekitar pertengahan tahun 2011 yang lalu, ketika masih menjadi mahasiswa semester 4, saya berkesempatan melakukan Studi Lapangan ke Solo untuk meninjau langsung pengembangan perkotaan di sana. Dosen saya mengatakan bahwa Walikota Solo saat itu menggunakan pendekatan manusiawi dalam melakukan penataan kota. Atau dalam istilah perkotaan disebut “Urban Humanism”, sebuah kota yang manusiawi. Seketika saya penasaran, siapa gerangan disana yang oleh banyak orang disebut sebagai Walikota cerdas.
Siapa lagi kalo bukan Joko Widodo alias Jokowi. Beliau berhasil membuat kota Solo menjadi sebuah kota yang nyaman sebagai tempat tinggal, sekaligus menarik untuk dijadikan tempat wisata. Dengan pendekatan manusiawi, beberapa program yang dilaksanakan seperti, penataan Pedagang Kaki Lima (PKL), revitalisasi ruang publik, pembenahan transportasi publik, penataan pasar, reformasi birokrasi dan banyak lagi program lainnya. Warga Solo merespon dengan suka cita, terbukti pada pemilihan walikota periode kedua, beliau mendapat suara signifikan mencapai 90%, tanpa perlu menebar atribut kampanye. Sungguh Jokowi pemimpin yang dicintai warganya.
Semua hal baik yang dilakukan di Solo itu hanya bisa dilakukan oleh pemimpin yang mempunyai niat tulus untuk memimpin dan membawa daerahnya menjadi lebih baik. Inilah fakta yang ada pada diri Jokowi. Lantas, sejak saat itu, saya tertarik pada sosok nyentrik ini. Namanya selalu melekat dalam ingatan.
Program terobosan yang paling yahud bisa jadi mengenai metode “makan siang” untuk memindahkan 989 PKL ke Pasar Klithikan tanpa ada konflik sedikitpun. Padahal di tempat lain, hampir setiap ada relokasi muncul konfilk, hampir pasti ada air mata yang tumpah. Petugas Satpol PP mencopot lapak PKL dengan paksa, kemudian para PKL tidak terima, melakukan perlawanan sampai baku pukul dan hal-hal pemberontakan lainnya.
Tapi di Solo beda. Jokowi sebagai walikota mengajak para PKL makan siang sebanyak 54 kali. Kemudian, dengan perlahan diberi pengertian terkait dengan relokasi. Dibicarakan terkait relokasi yang akan memperindah wajah kota dan menguntungkan dari segi ekonomi.
Ternyata ampuh terbukti, bahwa bicara dengan hati, diterima juga oleh hati. Para pedagang membongkar sendiri lapak dagangannya, kemudian membuat parade arak-arakan PKL menuju lokasi PKL yang baru. Jokowi langsung yang memimpin arak-arakannya. Pedagang merayakan relokasi dengan suka cita. Sebuah pemandangan yang aneh tak biasa. Index of Happiness warga Solo meningkat. Semua senang dan bahkan dengan bangga melakukan relokasi. Pendekatan manusiawi yang bahkan sesederhana ini jarang kita temui pada pemerintah daerah lain.
Dari sini bisa terlihat bahwa Jokowi memang pemimpin yang revolusioner, kaya akan ide, menerobos cara-cara khas penguasa birokrat yang kaku. Beliau paham betul mengambil hati rakyat kecil. Jokowi melakukan pendekatan yang membuat rakyat nyaman. Hanya makan siang. Masyarakat merasa dimanusiakan, merasa dihargai. Diajak diskusi sambil makan siang santai bersama pemimpinnya. Kelihatan sederhana namun dampaknya jelas, timbul kepercayaan yang kuat. Kepercayaan rakyat kepada pemimpin untuk membawanya ke kehidupan yang lebih baik. Bukankah memang begini seharusnya?
Jokowi memang selalu menempatkan posisinya sebagai seorang pelayan rakyat. Jokowi menganggap rakyat sebagai investor. Mungkin karena Jokowi sudah biasa bergelut di dunia usaha, beliau menggunakan naluri kewirausahaannya dalam memimpin kota. Jokowi menganggap bahwa rakyat adalah investornya, dan dirinya hanya kebetulan diberi amanah oleh rakyat sebagai pemimpin. Oleh karena itu, rakyat harus didengar, diberi perhatian, dihargai dan bahkan dimanjakan. Semua yang dilakukan semata-mata untuk mewujudkan keinginan rakyat atas kesejahteraan. Begitulah kira-kira.
Inilah faktanya. Kerja keras Jokowi bukan omong kosong. Keberhasilannya memimpin Solo tidak hanya diakui oleh warga Solo, namun hingga dunia internasional. Buktinya, situs worldmayor.com menobatkan beliau sebagai peringkat ketiga Walikota terbaik di dunia tahun 2012. Bersaing dengan Walikota Bilbao, Spanyol, Inaki Azkuna, dan Wali Kota Perth, Australia, Lisa Scaffidi. Sungguh Jokowi memang Walikota yang hebat.
Harapan Rakyat
Berhasil di Solo, kemudian rakyat menantang Jokowi untuk menyelesaikan permasalahan kota yang jauh lebih besar. DKI Jakarta. Jokowi dipandang mampu mengurai masalah Jakarta yang sudah sedemikian kompleks. Warga Jakarta menunjuk Jokowi sebagai pemimpin, beliau memenangkan pilkada dengan suara yang fantastis dan menjadi orang nomer satu di Ibukota republik ini mengalahkan gubernur petahana Fauzi Bowo.
Sulit rasanya kita bayangkan, seseorang dari kalangan biasa berwatak Jawa bekas tukang kayu -wajah kampungan, bisa menjadi orang nomer satu di kota metropolitan dengan segala hiruk pikuk kerasnya wajah kota. Inilah orang ndeso yang memimpin pasukan perang meredam keserakahan para kaum kapitalis ibukota.
“Biar wajah saya kampungan, yang penting otaknya internasional,” kata Jokowi berkelakar.
Diakui atau tidak, hal ini menjadi fenomena menggembirakan di negeri kita. Jokowi menebar harapan. Orang-orang yang dulunya pesimis akan kondisi negeri, perlahan menengok dan memandang kearah Jokowi dengan penuh harapan. Mereka mendekat, memberi tepuk tangan dan menyalami Jokowi. Inilah kegembiraan politik. Rakyat menjadi getol politik. Di pasar, di warung kopi hingga ke sudut-sudut gang terpencil, semua sumringah atas kehadiran sosok pembaharuan ini. Politik menjadi familiar. Politik tidak lagi menakutkan. Politik kembali menjadi milik rakyat, bukan hanya milik pejabat, apalagi pengusaha kaya raya.
Jokowi menyalakan lilin harapan perubahan di antara cerita suram negeri ini
Yang tak kalah menariknya, Jokowi mempopulerkan lagi istilah “blusukan”. Beliau mengaku sering menghabiskan waktunya hanya 2 jam di kantor, selebihnya lebih senang langsung turun ke lapangan. Beliau berulang kali mengatakan bahwa permasalahan rakyat tidak bisa hanya diselesaikan dari ruangan ber-AC, namun lebih baik berpanas-panasan turun ke lapangan melihat permasalahan, memutuskan tindakan cepat dan berani mengambil resiko. Prinsip Jokowi, seorang pemimpin harus bersentuhan dengan rakyat, harus berkeringat bareng rakyat, setiap hari.
“Semua ini hanya masalah niat atau tidak niat, mau atau tidak mau!” Jokowi
Tak bisa dipungkiri, metode blusukan inilah yang lantas melambungkan nama Jokowi di berbagai media. Puja dan puji meluncur deras dari berbagai kalangan masyarakat.
Ini baru namanya pemimpin. Ini pemimpin yang kita butuhkan. Pemimpin merakyat. Kata seseorang di warung kopi.
Lantas, atas kinerjanya sebagai Gubernur Jakarta, belum genap 2 tahun, lagi-lagi, Jokowi dihadapkan pada sebuah tugas rakyat. Kali ini diberi tugas yang sangat berat. Tidak hanya lingkup kota atau provinsi. Masyarakat Indonesia menginginkan Jokowi sebagai Presiden Republik Indonesia. Mengurusi 250 jutaan rakyat yang bosan dengan retorika politisi yang hanya pintar membual, namun minim tindakan.
Awalnya Jokowi terkesan ragu-ragu. Meskipun survei elektabilitas selalu mendapat perolehan teratas –di saat tokoh-tokoh lain sudah berlomba menjual citra pada publik demi meraup simpati rakyat. Jokowi mengaku belum memikirkan sampai sejauh itu. Beliau mengatakan hanya berfokus pada permasalahan Jakarta, menyelesaikan macet dan banjir yang semakin keterlaluan.
Saya kira, dalam konteks kehidupan berdemokrasi, apa yang beliau katakan pada saat itu sangatlah masuk akal. Beliau berpikir realistis. Biar bagaimanapun juga beliau adalah seorang kader biasa partai. Bukan ketua umum partai yang notabene mempunyai kesempatan yang lebih mungkin untuk meraih posisi calon RI-1. Jadi, Jokowi tidak bisa seenak jidat mencalonkan diri dengan menggunakan kekuatan partai untuk semata-mata mengejar ambisi menjadi Presiden. Semuanya harus melalui mekanisme partai tempat beliau bernaung.
Dari sini, saya lihat Jokowi yang konsisten. Beliau membiarkan rakyat yang menilai. Tugas sebagai Gubernur Jakarta dikerjakannya sebaik mungkin. Wacana copras-capres tidak mempengaruhi fokusnya menyelesaikan macet dan banjir Jakarta.
Saya percaya, pemimpin yang baik bukan dia yang berambisi menjadi pemimpin, namun justru orang yang tidak berambisi dan hanya menyerahkan semua pada keputusan banyak orang. Pemimpin akan siap jika ditugaskan. Karena menjadi pemimpin rakyat adalah sebuah pengabdian, bukan semata-mata mengejar jabatan. (Made Bhela Sanji Buana, Alumni PWK UGM, relawan Generasi Optimis. Twitter: @madebhela) (Advertorial)