Laporan Wartawan Surya, Mujib Anwar
TRIBUNNEWS.COM, SURABAYA - Teriakan kata, “Merdeka … Merdeka … Merdeka”, Minggu (17/8/2014) siang, beberapa kali disuarakan Prajurit (Purn) Moestadjab (85). Tangan kanannya diangkat sambil mengepal, sementara tangan kiri memegang piring berisi tumpeng pemberian Gubernur Jatim Soekarwo.
Meski sudah tua, suara mantan Anggota PS Srijono Batalyon Drajot/Mayangkara Surabaya ini masih terdengar lantang. Penuh heroisme. Sama ketika dia dan para pejuang lain mengusir penjajah untuk kemerdekaan Republik Indonesia.
Luar biasanya, teriakan kata “Merdeka” Moestadjab langsung menyihir ratusan undangan yang berada di ruang pertemuan Gedung Negara Grahadi. Para undangan, yang terdiri dari pejabat Forum Pimpinan Daerah (Forpimda), Konsulat Jendral Perwakilan Negara Sahabat, pejabat di lingkungan Pemprov Jatim, para veteran, dan undangan lain spontan ikut meneriakkan kata sakti tersebut.
Tak terkecuali, Gubernur Soekarwo dan Wakil Gubernur Saifullah Yusuf, yang tepat berdiri di depannya. Setelah itu, tepuk tangan meriah membahana. Melihat hal itu, Pakde Karwo langsung memeluk tubuh kakek 11 cucu ini.
Sikap heroisme Moestadjab tersebut muncul wujud ekspresi karena pemerintah telah mengakui jasa-jasanya yang turun andil mengusir penjajah. Pemerintah, melalui Presiden RI pada 19 Mei 2014 memberikan Penghargaan Bintang Gerilya.
Selain Moestadjab, penghargaan serupa juga diberikan kepada dua veteran lainnya, yakni Pratu (Purn) Misri (Tenaga Kesehatan dan Telik Sandi Bataliyon 41 Soenaryadi Divisi Jatim), dan Asiyah(BPRI/Anggota Dewan Harian Ranting 45, Kecamatan Tambaksari, Surabaya).
Penghargaan Bintang Gerilya dari Presiden diserahkan oleh Gubernur Soekarwo dan Moestadjab didapuk sebagai wakil dari pejuang untuk menerima tumpeng ‘kemerdekaan’ dari Gubernur.
"Alhamdulillahirabbil alamin. Akhirnya perjuangan saya diakui negara,” ujarnya, seraya mengucap syukur.
Pejuang kelahiran Gresik 7 Agustus 1930 silam mengatakan, dirinya mengucap syukur, karena bangga dapat menunjukkan kepada bangsa dan negara Indonesia bahwa dia adalah pejuang tanpa pamrih.
Menurut Moestadjab, dirinya sudah ikut berjuang dalam revolusi fisik sejak usia 12 tahun. Lebih dari tujuh tahun dia ikut perang gerilya di Bojonegoro dan Surabaya. Mengusir penjajah Belanda dan Jepang serta NICA Belanda.
“Sebagai prajurit saya bertugas sebagai penggempur jalan. Membuka jalan bagi prajurit lain,” katanya.
Setelah Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945, pangkatnya tetap prajurit. Moestadjab bersikukuh tak mau pangkatnya dinaikkan. Baginya, berjuang harus tanpa pamrih dan lillahi ta’ala. Sehingga setelah bangsa ini merdeka dan dia sudah pensiun dari Angkatan Darat, Moestadjab mengaku tidak mau mengambil tunjangan uang pensiun sampai usia kemerdekaan Republik ini mencapai usia 69 tahun.
“Saya bangga dapat lulus mengabdi pada negara ini tanpa pamrih,” tegas bapak enam anak ini.
Namun, setelah Presiden memberikan penghargaan Bintang Gerilya dan mengakui perjuangan tanpa pamrihnya, Moestadjab akan menerima pemberian tunjangan pensiun sebagai konsekuesi dari penghargaan yang diterimanya.
Kini setelah 69 tahun Bangsa ini merdeka, lelaki yang tinggal di Jalan Karangrejo sawah nomor 35 Surabaya ini, berharap pemimpin bangsa ini dan generasi penerus tidak lupa dengan sejarah perjuangan bangsa, khususnya para pahlawan dan pejuang yang sudah mengorbankan jiwa raga.
“Jangan ada yang mau menjadi antek-antek asing yang dapat memecah belah bangsa,” tandasnya, mengingatkan.
Selain itu, rakyat Indonesia, khususnya generasi muda harus tetap setia kepada Pancasila dan UUD secara murni dan konsekuen serta ikhlas untuk membangun bangsa dan negara.
“Jangan sampai ada korupsi-korupsi lagi. Saya sangat tidak senang, karena korupsi telah menjadikan negara ini lemah,” imbuh Moestadjab.