TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pengamat Politik Universitas Padjajaran, Idil Akbar mengatakan, upaya mengembalikan pemilihan kepala daerah tidak langsung atau melalui DPRD merupakan sebuah bentuk kemunduran demokrasi.
Menurutnya, partisipasi langsung adalah salah substansi di dalam demokrasi dan itu juga adalah buah reformasi.
Menurut Akbar, wacana pilkada dipilih DPRD merupakan upaya yang jelas hanya mendegradasi keterlibatan masyarakat lebih utuh. Jika pilkada dipilih DPRD maka akan membuat preseden buruk para anggota dewan dan lembaga wakil rakyat itu.
"Saya kira, DPR hanya akan menciptakan preseden buruk di masa akhir jabatannya jika sampai perubahan mekanisme Pilkada ini terealisasi," kata Akbar saat dihubungi wartawan, Senin (8/9/2014).
Masih kata Akbar, mempertanyakan bagaimana bisa masyarakat kembali ingin dipisahkan dari tanggung jawab memilih pemimpin daerahnya. Menurutnya, Jika alasannya adalah membebani anggaran negara, hal itu itu bukan alasan untuk mencabut hak politik rakyat untuk memilih pemimpin daerahnya secara langsung.
"Dan itu juga tak sebanding dengan upaya untuk memperoleh level demokrasi yang lebih substantif," tuturnya.
Lebih jauh Akbar mengatakan, mengenai anggaran politik yang tinggi dalam penyelenggaraannya itu adalah keniscayaan dan nilai dari hak politik tak bisa disebandingkan dengan materi, berapapun nilainya. Karena itu, seharusnya DPR lebih memikirkan bagaimana merancang Pilkada yang lebih sederhana, terbuka dan terjangkau.
"Itu artinya lebih menekankan proses Pilkada yang lebih berkualitas, bukan dengan cara memotong hak politik masyarakat secara langsung," ujarnya.
"Apakah DPR bisa menjamin Pilkada tidak langsung akan melahirkan pemimpin yang amanah? Apakah juga bisa menjamin tidak akan pernah terjadinya transaksi dan money politik di dalamnya?" tanya Akbar.
Akbar mengatakan, jangan sampai demokrasi langsung yang sedang dijalankan ini mengalami kemunduran akibat kepentingan yang berorientasi jangka pendek dan ingin mendominasi kekuasaan ke daerah-daerah.