TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - United Nation (UN) Scurity Consul atau Dewan Keamanan PBB menyebut 17 nama Warga Negara Indonesia (WNI) terkait dengan jaringan teroris Al Qaeda dan Taliban. Tiga nama diantaranya sudah dilakukan pemblokiran rekeningnya.
Namun demikian pihak kepolisian tidak bisa serta merta melakukan pemblokiran terhadap rekening-rekening WNI yang masuk dalam daftar UN Scurity Consul 1267 tersebut kecuali ada sebuah rekening yang langsung terkait dengan aksi teror yang terjadi.
"Kita harus mengutamakan proses pembuktian bahwa ada fasilitas jasa perbankan atau rekening-rekening yang berkaitan langsung dengan aktifitas mereka (teroris), itu bisa langsung kita bekukan, karena itu alat bukti. Tapi jika belum menyentuh pada penyidikan tentu itu harus melihat dari perspektif hukum kita," ungkap Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigjen Pol Boy Rafli Amar di Mabes Polri, Jakarta Selatan, Jumat (12/9/2014).
Dikatakannya, teroris yang saat ini berada di Indonesia dalam aktivitas pendanaannya tidak selalu mengandalkan bank, tetapi melalui cara-cara konvensional seperti yang selama ini terungkap dengan melakukan pengiriman secara langsung.
"Tapi sebenarnya yang dicari apakah ada aliaran dana yang sifatnya sumber-sumber dari mana-mananya untuk mendukung aktifitas mereka. Itu harus diwaspadai terus dan harus diselidik, sehingga bagaimana akhirnya sistem kita menjangkau ke sana," ujarnya.
Boy pun tidak menampik, bila teroris selalu menggunakan berbagai cara dalam rangka menyamarkan asal usul pendanaan mereka. Seperti melalui perusahaan dan sebagainya.
"Apa saja bisa disamarkan dengan kamuflase dana-dana mereka. Namanya orang jahat akalnya banyak," ujarnya.
Kelompok teroris terus mencari cara supaya dananya tidak mudah dilacak aparat penegak hukum. Dua tahun terakhir ini cara pendanaan mereka berubah tidak lagi melalui transfer orang per orang melainkan melalui kedok perusahaan supaya sulit dilacak.
"Sekarang mulai menggunakan perusahaan tadinya orang ke orang transfer," kata Wakil Ketua Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Agus Santoso di Mabes Polri, Jakarta Selatan, Kamis (11/10/2014).
Sayang Agus tidak mau menyebut nama perusahaan yang diduga menjadi mesin keuangan kelompok teroris. Alasannya tidak mau menyebut, supaya tidak mengganggu proses penyelidikan yang dilakukan. Hanya ia menegaskan perusahan tersebut sengaja dibuat untuk menyamarkan pendanaan mereka.
"Dalam dua tahun terakhir mereka menyamarkan kegiatan dalam bentuk perusahaan, tapi perusahaannya apa saya tidak bisa sebut," ujarnya.
Pendanaan teror rata-rata mengalir dari wilayah-wilayah konflik baik dari negara lain maupun dalam negeri. Ia pun lagi-lagi tidak mau menyebut nama wilayah tersebut.
"Kita melihat ada dana asing dan dari daerah konflik yang masuk, diduga orang tersebut teroris," ujarnya.
Pihak PPATK, Bareskrim, Densus 88 Antiteror, Bank Indonesia, dan BIN melakukan rapat koordinasi terkait pembekuan aset teroris di Bareskrim Polri, Kamis (11/9/2014). Hal tersebut merupakan bagian dari implementasi Undang-undang nomor 9 tahun 2013 tentang pembekuan aset teroris khususnya nama-nama WNI yang terdaftar dalam UN Scurity Consul 1267 yang meminta agar daftar terduga teroris baik Warga Negara Asing maupun Warga Negara Indonesia dibekukan asetnya.