News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

RUU Advokat

Kontras: Tak Berpihak ke Rakyat Miskin, RUU Advokat Harus Ditolak

Editor: Rendy Sadikin
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Sejumlah advokat berunjuk rasa di sekitar bundaran HI, Jakarta Pusat, Kamis (11/9/2014). Mereka menolak disahkannya RUU Advokat pengganti Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat, karena dinilai terdapat intervensi dari pemerintah. TRIBUNNEWS/HERUDIN

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sejumlah pakar dan praktisi hukum menolak Rancangan Undang-Undang (RUU) Advokat yang siap disahkan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Menurut mereka, RUU tersebut justru berpotensi melemahkan profesi advokat yang pada akhirnya menjauhkan masyarakat dari pencapaian keadilan.

"Perdebatan dan konten RUU Advokat, tidak menjamin bantuan hukum bagi orang miskin. Tidak juga menjamin kualitas advokat ke depan dan tidak lebih menjamin integritas advokat sebagai institusi hukum. Juga keberadaan Dewan Advokat Nasional lebih kepada bagi kekuasaan saja," kata Koordinator Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Haris Azhar dalam pernyataannya, Senin(15/9/2014).

DPR, lanjut Haris, tidak jelas dalam proses pemunculan RUU advokat, termasuk saat pembahasan dan tindak lanjutnya.

Senada dengan Haris Mantan komisioner KPK Chandra M Hamzah mengatakan, sekalipun Dewan Advokat Nasional (DAN) mirip model kepemimpinan KPK, namun tidak dapat diterapkan bagi organisasi advokat yang harus bersifat bebas dan mandiri (independent self-governing).

"Jika RUU Advokat diloloskan, maka RUU tersebut berpotensi mengancam eksistensi standar mutu advokat dan akhirnya berujung pada buruknya jaminan perlindungan konsumen," kata Chandra yang juga juga mempertanyakan rasionalitas pembuatan RUU tersebut.

RUU Advokat sebenarnya pernah gugur dalam program legislasi nasional (prolegnas) 2012, namun masuk kembali dalam prolegnas 2013 dan 2014.

Pengusulan RUU di luar skema prolegnas harus memenuhi prasyarat limitatif, yakni keadaan luar biasa, keadaan konflik atau bencana alam dan kondisi urgensi nasional lainnya (pasal 23 ayat 2, Undang-Undang Nomor 12/2011).

"Pembahasannya harus hati-hati, tidak boleh tergesa-gesa. Dan sebaiknya diserahkan kepada DPR mendatang," kata Chandra.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini