TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sejumlah pakar dan praktisi hukum menolak Rancangan Undang-Undang (RUU) Advokat yang siap disahkan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Menurut mereka, RUU tersebut justru berpotensi melemahkan profesi advokat yang pada akhirnya menjauhkan masyarakat dari pencapaian keadilan.
"Perdebatan dan konten RUU Advokat, tidak menjamin bantuan hukum bagi orang miskin. Tidak juga menjamin kualitas advokat ke depan dan tidak lebih menjamin integritas advokat sebagai institusi hukum. Juga keberadaan Dewan Advokat Nasional lebih kepada bagi kekuasaan saja," kata Koordinator Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Haris Azhar dalam pernyataannya, Senin(15/9/2014).
DPR, lanjut Haris, tidak jelas dalam proses pemunculan RUU advokat, termasuk saat pembahasan dan tindak lanjutnya.
Senada dengan Haris Mantan komisioner KPK Chandra M Hamzah mengatakan, sekalipun Dewan Advokat Nasional (DAN) mirip model kepemimpinan KPK, namun tidak dapat diterapkan bagi organisasi advokat yang harus bersifat bebas dan mandiri (independent self-governing).
"Jika RUU Advokat diloloskan, maka RUU tersebut berpotensi mengancam eksistensi standar mutu advokat dan akhirnya berujung pada buruknya jaminan perlindungan konsumen," kata Chandra yang juga juga mempertanyakan rasionalitas pembuatan RUU tersebut.
RUU Advokat sebenarnya pernah gugur dalam program legislasi nasional (prolegnas) 2012, namun masuk kembali dalam prolegnas 2013 dan 2014.
Pengusulan RUU di luar skema prolegnas harus memenuhi prasyarat limitatif, yakni keadaan luar biasa, keadaan konflik atau bencana alam dan kondisi urgensi nasional lainnya (pasal 23 ayat 2, Undang-Undang Nomor 12/2011).
"Pembahasannya harus hati-hati, tidak boleh tergesa-gesa. Dan sebaiknya diserahkan kepada DPR mendatang," kata Chandra.