TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Jaksa KPK menuntut Mantan Kepala Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) Syahrul Raja Sempurnajaya dengan pidana 10 tahun penjara, denda Rp 1 miliar subsidair 8 bulan kurungan. Pasalnya, menurut Jaksa, berdasarkan fakta yang muncul dalam persidangan, Syahrul terbukti melakukan tindak pidana korupsi.
"Kami penuntut umum menuntut agar majelis hakim yang memeriksa dan mengadili perkara ini memutuskan terdakwa Syahrul Sempurnajaya terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah selaku pegawai negeri atau penyelenggara negara melakukan beberapa perbuatan yang harus dipandang sebagai perbuatan perbuatan berlanjut dan dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum," kata Jaksa KPK Elly Kusumastuti membacakan surat tuntutan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Rabu (22/10/2014).
Dalam perkara ini, Syahrul diyakini jaksa melakukan lima tindak pidana korupsi dan pidana pencucian uang.
Pertama, Syahrul disebut memaksa Dirut PT Bursa Berjangka Jakarta (BBJ) Made Sukarwo dan Dirut PT Kliring Berjangka Indonesia (PT KBI) Surdiyanto Suryodarmodjo untuk mengumpulkan fee transaksi. Kemudian, Syahrul melalui Sekretaris Kepala Bappebti Nizarli untuk menanyakan realisasi penyisihan fee transaksi kepada I Gede Raka Tantra, Ketua Asosiasi Pialang Berjangka Indonesia (APBI), dan Fredericus Wisnusbroto, Ketua Ikatan Perusahaan Pedagang Berjangka Indonesia (IP2BI).
"Bantuan operasional total Rp 1,675 miliar tidak ada yang digunakan untuk pengembangan kegiatan pedagangan berjangka melainkan hampir seluruhnya digunakan untuk kepentingan terdakwa," papar Jaksa Sigit Waseso.
Kedua, lanjut Jaksa Sigit, Syahrul menerima duit Rp 1,5 miliar yang diyakini sebagai fee karena Syahrul selaku Kepala Bappebti memediasikan Maruli T Simanjuntak dengan CV Gold Aset anak perusahaan PT AXO Capital Futures yang tengah bersengketa. Jaksa bahkan mengesampingkan alasan Syahrul yang mengatakan uang diberikan Maruli untuk investasi di PT Garindo Perkasa.
"Jika berinvestasi seharusnya Maruli Simanjuntak membuat perjanjian kerjasama dengan Sentot Susilo Dirut PT Garindo Perkasa bukan dengan terdakwa," kata Jaksa Sigit.
Selanjutnya atau ketiga, Syahrul diyakini Jaksa telah menerima Rp 7 miliar dari Komisaris Utama PT BBJ Hasan Wijaya melalui Dirut PT BBJ Bihar Sakti Wibowo. Uang itu terkait permohonan izin usaha PT Indokliring Internasional, lembaga kliring yang didirikan BBJ.
"Setelah menerima uang, terdakwa memerintahkan James Bintaryo (Kabiro Perniagaan Bappebti) memproses permohonan izin PT Indokliring Internasional," kata Jaksa Sigit.
Keempat, sambung Jaksa Sigit, Syahrul meminta uang operasional untuk perjalanan dinas ke luar negeri, kepada pihak swasta pada Maret 2013. Caranya, Syahrul menghubungi Kepala Biro Hukum Bappebti Alfons Samosir untuk mencari tambahan uang saku. Alfons lalu menghubungi Direktur PT Milenium Penata Futures (PT MPF) Runy Syamora, meminta agar disediakan uang AUD 5 ribu.
Namun duit ini tidak jadi digunakan Syahrul karena berhalangan untuk melakukan perjalanan dinas. Atas anjuran Syahrul, duit akhirnya digunakan oleh Alfons untuk kepentingan pribadi.
"Terdakwa telah mengetahui dan menghendaki penerimaan dan penggunaan uang oleh Alfons Samosir," kata jaksa Sigit.
Perbuatan kelima, Syahrul dinilai terbukti melakukan suap kepada sejumlah pejabat di Kabupaten Bogor terkait rekomendasi pemberian izin lokasi Tempat Pemakaman Bukan Umum (TPBU) di Tanjungsari Bogor.
"Terdakwa bersama-sama Sentot Susilo (Dirut PT Garindo Perkasa) dan Nana Supriyatna (Direktur Operasional PT Garindo Perkasa) memberikan uang Rp 1,390 miliar," kata Jaksa Sigit.
Terakhir, tim Jaksa meyakini Syahrul melakukan pidana pencucian uang. Selain menempatkan uang, Syahrul juga membelanjakan uang hasil tindak pidana korupsi antara lain untuk pembelian Toyota Vellfire, dan cicilan unit apartemen di Senopati, pembayaran cicilan Toyota Hilux Double Cabin, dan pembayaran asuransi.
"Terdakwa melakukan pidana pencucian uang dengan penempatan, transfer dan menggunakan harta kekayaan berasal dari hasil tindak pidana korupsi," kata Jaksa Sigit.
Menurut jaksa, harta kekayaan Syahrul tidak sesuai dengan profil penghasilan yang tercantum pada laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN). Pada LHKPN per 1 Februari 2010, Syahrul yang tidak memiliki penghasilan lain, memiliki harta kekayaan Rp 1,576 miliar.
"Apabila dibandingkan dengan LHKPN, ada ketidakwajaran sehingga patut diduga harta kekayaan tersebut diketahui atau patut diduga berasal dari hasil tindak pidana korupsi," imbuh Jaksa Sigit.
Menanggapi tuntutan, Syahrul yang saat ini tengah mendekam di Rutan Guntur Pomdam Jaya dan penasihat hukumnya akan mengajukan surat pembelaan (Pledoi). Pembelaan akan dibacakan pada persidangan berikutnya.