Laporan Wartawan Tribunnews.com, Edwin Firdaus
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mantan Kepala Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi Syahrul Raja Sempurnajaya dinyatakan bersalah karena tindak pidana korupsi. Jaksa menuntutnya pidana 10 tahun penjara, denda Rp 1 miliar subsidair 8 bulan kurungan.
Jaksa Elly Kusumastuti mengatakan, Syahrul terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah. Sebagai pegawai negeri ia telah melakukan beberapa perbuatan yang harus dipandang sebagai perbuatan-perbuatan berlanjut dan dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum.
Dalam perkara ini, Syahrul diyakini jaksa melakukan lima tindak pidana korupsi dan pidana pencucian uang. Pertama, ia disebut memaksa Dirut PT Bursa Berjangka Jakarta (BBJ) Made Sukarwo dan Dirut PT Kliring Berjangka Indonesia (PT KBI) Surdiyanto Suryodarmodjo untuk mengumpulkan fee transaksi.
Syahrul melalui Sekretaris Kepala Bappebti Nizarli untuk menanyakan realisasi penyisihan fee transaksi kepada I Gede Raka Tantra, Ketua Asosiasi Pialang Berjangka Indonesia (APBI), dan Fredericus Wisnusbroto, Ketua Ikatan Perusahaan Pedagang Berjangka Indonesia (IP2BI).
"Bantuan operasional total Rp 1,675 miliar tidak ada yang digunakan untuk pengembangan kegiatan pedagangan berjangka melainkan hampir seluruhnya digunakan untuk kepentingan terdakwa," papar jaksa Sigit Waseso.
Kedua, Syahrul menerima Rp 1,5 miliar sebagai fee. Ia dianggap berjasa memediasikan Maruli T Simanjuntak dengan CV Gold Aset, anak perusahaan PT AXO Capital Futures yang tengah bersengketa. Jaksa mengesampingkan alasan Syahrul tentang uang tersebut adalah investasi di PT Garindo Perkasa.
Ketiga, Syahrul diyakini jaksa penuntut umum telah menerima Rp 7 miliar dari Komisaris Utama PT BBJ Hasan Wijaya melalui Dirut PT BBJ Bihar Sakti Wibowo. Uang itu terkait permohonan izin usaha PT Indokliring Internasional, lembaga kliring yang didirikan BBJ.
"Setelah menerima uang, terdakwa memerintahkan James Bintaryo (Kabiro Perniagaan Bappebti) memproses permohonan izin PT Indokliring Internasional," imbuh Sigit.
Keempat, Syahrul meminta uang perjalanan dinas ke luar negeri kepada swasta pada Maret 2013. Ia menghubungi Kabiro Hukum Bappebti Alfons Samosir untuk mencari tambahan uang saku. Alfons lalu menghubungi Direktur PT Milenium Penata Futures (PT MPF) Runy Syamora agar disediakan uang 5 ribu dolar Australia.
Uang tersebut tak dipakai karena Syahrul berhalangan melakukan perjalanan dinas. Uang itu akhirnya digunakan Alfons untuk kepentingan pribadi seperti anjuran Syahrul. "Terdakwa telah mengetahui dan menghendaki penerimaan dan penggunaan uang oleh Alfons Samosir," kata jaksa Sigit.
Kelima, Syahrul dinilai terbukti menyuap sejumlah pejabat di Kabupaten Bogor terkait rekomendasi pemberian izin lokasi Tempat Pemakaman Bukan Umum (TPBU) di Tanjungsari Bogor. Tindakan Syahrul bersama-sama Dirut PT Garindo Perkasa Sentot Susilo dan Direktur Operasional PT Garindo Perkasa Nana Supriyatna.
Terakhir, jaksa meyakini Syahrul mencuci uang hasil pidananya, seperti menempatkan uang, membelanjakan uang untuk pembelian Toyota Vellfire, dan cicilan unit apartemen di Senopati, Jakarta Selatan, pembayaran cicilan Toyota Hilux Double Cabin, pembayaran asuransi.
Harta kekayaan Syahrul pun sesuai profil penghasilan yang tercantum pada laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN). Pada LHKPN per 1 Februari 2010, Syahrul yang tidak memiliki penghasilan lain, memiliki harta kekayaan Rp 1,576 miliar. Laporan dalam LHKPN dan uang yang dimilikinya tak sesuai.
Menanggapi tuntutan jaksa pada Komisi Pemberantasan Korupsi, Syahrul yang saat ini tengah mendekam di Rutan Guntur Pomdam Jaya dan penasihat hukumnya akan mengajukan surat pembelaan (Pledoi). Pembelaan akan dibacakan pada persidangan berikutnya.