Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ferdinand Waskita
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kapolri Jenderal Pol Sutarman dituntut meminta maaf atas kejadian kekerasan yang dialami jurnalis saat meliput demo di Makassar, Sulawesi Selatan. Anggota Komisi I DPR Meutya Hafidz mengatakan dalam situasi apapun tidak diperbolehkan adanya kekerasan terhadap wartawan.
"Wartawan sedang meliput tidak melakukan apapun. Tidak ada pembenaran bagi polisi lakukan penyerangan," kata Meutya ketika dikonfirmasi, Jumat (14/11/2014).
Politisi Golkar itu meminta kasus tersebut diusut tuntas. Bila terdapat aparat yang melanggar harus diberikan sanksi. "Harus ada pernyataan Polri minta maaf kepada institusi wartawan. Ini bukan hanya kehahatan biasa. Ini wartawan dengan bertugas yang dilindungi negara. Pasal 28 f UUD 1945 adalah hak asasi untuk mendapat informasi," kata mantan wartawan itu.
Ia mengatakan publik berhak mendapatkan informasi mengenai aksi tersebut. "Demo anarkis memang perlu ditindak. Tapi harus tetap dalam prosedur hukum," ujarnya.
Diketahui, aksi demonstrasi menolak rencana poemerintah mencabut subsidi bahan bakar minyak atau BBM bersubsidi di Makassar berujung rusuh, Kamis (13/11/2014) sore.
Polisi masuk ke kampus Universitas Negeri Makassar (UNM) di Gunungsari, Jl AP Pettarani. Sejumlah mahasiswa yang diduga ikut aksi parlemen jalanan menolak rencana pemerintah mencabut subsidi BBM, ditangkap.
Sebanyak lima jurnalis yang meliput aksi penyerangan polisi justru menjadi korban kekerasan. Beberapa di antaranya terluka dan dianiaya. Polisi melarang pengambilan gambar dan coba merebut kamera jurnalis.
Selain mahasiswa dan jurnalis, sejumlah warga, anak-anak, dan buruh bangunan yang bekerja di sekitar Menara Phinisi, kampus UNM, juga menjadi korban. Sebelum aksi penyerangan, Wakapolrestabes Makassar AKBP Totok Lisdiarto, dilaporkan terkena panah dan 4 wartawan terluka.