TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kebijakan pemerintah Joko Widodo menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi dianggap obat yang akan menyehatkan keuangan negara yang tidak sehat yang terus mengalami defisit, serta pemanfaatan yang lebih banyak konsumtif daripada produktif.
Hal itu dikatakan Syarief Hidayatullah anggota Bidang Kesra DHN 45 dalam diskusi "Kenaikan BBM ; Obat atau Racun ? ” Di Gedung Joeang, Jakarta Pusat, Senin (24/11/2014) siang.
Menurutnya, dana subsidi BBM akan dialihkan pada produk-produk produktif, infratruktur, kesehatan, dan pendidikan masyarakat."Serangkaian proyek raksasa pun dicanangkan antara lain membuat pelabuhan, waduk, dan jalan tol," katanya.
Syarief menuturkan, pihak-pihak yang menentang menganggap, kebijakan menaikan harga BBM merupakan racun bagi masyarakat, karena dampak dari kenaikan itu akan menambah berat beban kehidupan masyarakat hingga barang naik sementara pendapatan tetap.
Menurutnya, salah satu cara terbaik yang bisa kita lakukan adalah meminta penjelasan kepada Jokowi, mengapa berani mengambil kebijakan seperti itu, serta meminta alasan yang dapat diterima oleh akal sehat masyarakat.
"Jika alasannya, tidak masuk akal, biarlah itu urususan pada politisi yang ada di Senayan. Tetapi jika alasannya masuk akal, kita mau tdak mau ya menerima dan mendukungnya," ujarnya.
Selain juga, kata dia, masyarakat harus mengawasi berbagai kebijakan pemerintah Jokowi yang akan memanfaatkan dana subsidi BBM untuk dialihkan kepada pembangunan infrastruktur, kesehatan, dan pendidikan agar tepat sasaran.