Laporan Wartawan Tribunnews.com, Y Gustaman
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Dewan Pers menyesalkan langkah Polda Metro Jaya yang menetapkan Pemimpin Redaksi Jakarta Post, MS, dengan sangkaan penistaan agama. Polisi seharusnya jeli melihat kasus pemuatan karikatur ISIS sebagai produk produk jurnalistik, bukan sebagai tindak pidana.
"Kita memyesalkan Pemred Jakarta Post dijadikan tersangka terkait kasus karikatur. Produk yang diadukan adalah produk jurnalistik. Kita ingin kasus ini diselesaikan dengan UU Pers, jangan memakai KUHP, apalagi pasal penistaan agama," ujar anggota Dewan Pers Nezar Patria kepada Tribun di Jakarta, Kamis (11/12/2014).
Nezar menegaskan, Jakarta Post sudah menunjukkan itikad baik karena pemuatan karikatur tersebut. Ketika kartun tersebut muncul dan mendapat kritik sejumlah ormas Islam, Jakarta Post mendatangi Dewan Pers dan meminta penilaian atas pemuatan kartun yang belakangan kontroversial tersebut.
Nezar mengakui, Dewan Pers menilai pemuatan karikatur oleh Jakarta Post sebagai pelanggaran kode etik, karena kurang sensitif terhadap norma yang berlaku di masyarakat. "Jadi tidak ada penistaan agama. Kita melihat Jakarta Post tak beritikad buruk memuat karikatur itu," tegas Nezar.
Karikatur yang dimuat Jakarta Post merupakan reproduksi karikatur yang sebelumnya dimuat Alquds, sebuah harian yang terbit di Timur Tengah, seperti Mesir dan Palestina. Perlu diingat, kata Nezar, karikatur tersebut sebagai sistem peringatan dini atas gerakan ISIS atau Negara Islam Irak dan Suriah yang melakukan hal-hal di luar batas kemanusiaan.
"Gerakan ini memakai simbol-simbol keagamaan. Kita semua tahu gerakan ISIS sendiri mendapat protes besar dari ulama di Timur Tengah dan Indonesia. Bahkan ulama di Indonesia sampai membuat pernyataan sikap menolak dan menghujat gerakan ISIS yang memakai simbol agama," imbuhnya.
Masih kata Nezar, Dewan Pers sudah menandatangi nota kesepahaman dengan Polri bahwa semua produk jurnalistik yang masuk ke Polri harus dikonsultasikan lebih dulu dengan Dewan Pers. Ketika rekomendasi Dewan Pers masuk kategori produk jurnalistik, maka Polri tidak perlu melanjutkannya lagi. "Tapi tiba-tiba jadi tersangka. Ini membuat kaget Dewan Pers," tutur Nezar.