TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pendiri Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Andreas Harsono menilai pembahasan tragedi Charlie Hebdo di dunia jurnalistik tidaklah mudah.
Sebab di satu sisi kebebasan berpendapat sangat diperlukan.
"Belajar dari Orde Baru, kalau tidak ada kebebasan berpendapat (free of speech) makin banyak orang diinjak-injak. Karena makin bermutu informasi makin bermutu masyarakatnya," kata Andreas saat diskusi "Kekerasan Charlie Hebdo: Antara Kebebasan Pers dan Toleransi Kehidupan Umat Beragama" di Jakarta, Kamis (15/1/2015)
Meski begitu, terang Andreas, bila free of speech mengalami penyelewengan (abuse) juga akan berbahaya. Seperti kasus Charlie Hebdo.
"Tapi kan hukum penodaan agama di Perancis sendiri memang tidak ada. Karena itu banyak yang mendukung suburnya kaum satiris di Perancis. Tak hanya kaum kiri, kaum ultra nasionalis (sayap kanan) di Perancis juga selalu menyinyiri kaum migran termasuk Islam," katanya.
Andreas sendiri mengakui sepaham dengan pendapat empat ulama yang pernah menggugat Undang-Undang Penodaan Agama di Indonesia. Menurut Andreas tidak ada pihak manapun yang bisa mengklaim bahwa agama tertentu sudah ternodai.
"Dulu empat ulama Maman Imanul Haq, Dawam Raharjo, Musdah Mulia dan Abdurrahman Wahid dengan alasan itu mengatakan UU penodaan agama dicabut. Tapi ditolak oleh MK yang diketuai Akil Mochtar," kata Andreas
Tetapi dengan adanya UU penodaan agama dan UU ITE di Indonesia kaum satiris memang diyakini tidak akan tumbuh subur. UU tersebut diyakini Andreas membatasi kelompok atau individu mengutarakan pendapat yang menembus batas sensitifitas agama atau suku dan ras.
"Jadi kalau menurut saya kebebasan pendapat itu batasnya hati nurani," tegas Andreas.