TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Terorisme merupakan tindak kejahatan yang menakutkan bagi semua orang. Tahun 1993, Deklarasi Wina telah menyatakan terorisme murni tindak pidana international dan perbuatan melanggar hak asasi manusia.
Konsep itu dikukuhkan oleh Dewan Keamanan Persatuan Bangsa-Bangsa dengan mengeluarkan resolusi untuk menumpas terorisme. Resolusi tersebut menyatakan, negara-negara harus mengambil tindakan sesuai hukum international untuk memberantas terorisme.
Terkait hal tersebut, wartawan diminta untuk memberitakan aksi maupun dampak terorisme untuk kepentingan masyarakat luas.
"Norma dan kode etik jurnalistik (KEJ) menyebutkan tentang independensi, akurasi berita, berimbangan, itikad baik, informasi teruji, membedakan fakta dan opini serta perlindungan terhadap narasumber dan orang-orang yang berisiko," kata Anggota Dewan Pers Yosep Adi Prasetyo saat diskusi dan uji publik "Pedoman dan Peliputan Terorisme di Gedung Dewan Pers, Jakarta, Selasa, (20/1/2015).
Yosep menegaskan, wartawan perlu mengingat tugas utama jurnalistik adalah mengungkapkan kebenaran yang bersifat fungsional. Menurutnya, berbagai media belum mempunyai standar liputan yang sama dalam meliput terorisme.
"Oleh karena itu, perlu disusun pedoman yang melengkapi ketentuan yang telah diatur dalam Undang-Undang No.40 tahun 1999 tentang pers maupun kode etik jurnalistik," kata Yosep.
Selain itu, Yosep berpendapat operasi teroris tidak boleh disiarkan langsung oleh media. Alasannya, jaringan teroris telah memiliki peralatan yang cukup sehingga memudahkan mereka untuk melacak. "Kalau teroris itu punya tv, gampang dilacak," ucap Yosep.