Laporan Wartawan Tribunnews.com, Wahyu Aji
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Kementerian Hukum dan HAM dan Lembaga Pemasyarakatan Sorong, Papua, harus bertanggung jawab karena menerbitkan surat keputusan pembebasan terpidana korupsi Aiptu Labora Sitorus.
"Oknum Menkum HAM dari Dirjen Lapas harus melihat kenapa bisa ada surat keluar seperti itu, harusnya enggak boleh. Surat pembebasan harus dikeluarkan pengadilan," kata Ketua Komisi III DPR RI Aziz Syamsuddin, Jakarta, Kamis (5/2/2015).
Politikus Partai Golkar itu menilai janggal pembebasan Labora. Ia memastikan Komisi III DPR RI akan mengecek dan melakukan kunjungan kerja ke Papua pada 24 Februari.
Komisi III juga sudah melakukan pembicaraan informal dengan Kementerian Hukum dan HAM terkait terbitnya surat pembebasan Labora tersebut. Hingga kini belum berencana memanggil pihak-pihak yang terlibat menerbitkan surat pembebasan.
Mahkamah Agung pada 17 September 2014 memvonis 15 tahun penjara dan denda Rp 5 miliar subsider 1 tahun kurungan kepada Labora. Vonis ini sesuai kasasi jaksa.
Pengadilan Negeri Sorong meloloskan Labora dari dakwaan kasus pencucian uang. Labora hanya dinyatakan melanggar Undang-Undang Migas dan Undang-Undang Kehutanan karena menimbun bahan bakar minyak serta melakukan pembalakan liar.
Pengadilan tingkat pertama memvonis Labora 2 tahun penjara dan denda Rp 50 juta subsider 6 bulan kurungan.
Jaksa lalu mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Papua, hasilnya memperberat hukuman Labora menjadi 8 tahun penjara karena terbukti melakukan tindak pidana pencucian uang.
Kepala Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Papua Barat Agus Soekono mengatakan, Lapas Sorong di bawah kepemimpinan Samaluddin Bogra telah menerbitkan surat keputusan pembebasan Labora.
Namun, Agus menduga, surat bebas hukum bagi Labora tidak valid karena terdapat sejumlah kejanggalan, yakni tidak ada nomor surat, tembusan, dan hanya ditandatangani seorang pelaksana harian kepala lapas.