TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mendukung langkah Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) untuk mengungkap dugaan adanya rekayasa dalam kasus Jakarta Intercultural School (JIS).
Anggota Komnas HAM Nurcholis mengatakan, Kompolnas menjadi lembaga yangtepat untuk mengusut dugaan penyiksaan terhadap para pekerja kebersihan PT ISS. “Kompolnas harus bisa mengusut laporan tersebut karena bisa merekomendasikan untuk memberikan sanksi bila terjadi pelanggaran saat penyidikan,” katanya saat dihubungi, Kamis (5/2/2015).
Sebelumnya dalam pertemuan dengan keluarga terpidana pekerja kebersihan PT ISS, orangtua siswa JIS dan didampingi oleh Imparsial, Kompolnas menyatakan akan memanggil penyidik Polda Metro Jaya untuk mengungkap dugaan kekerasan dan penyiksaan dalam mengungkap kasus pelecehan seksual di Jakarta Intercultural School (JIS) terhadap lima pekerja dari PT ISS Indonesia.
Dalam pertemuan itu Kompolnas diwakili oleh Andrianus Mailala dan Hamidah Abdurrahman. Dalam pertemuan ini, keluarga menyerahkan beberapa foto para pekerja PT ISS Indonesia selama proses penyelidikan di Polda Metro Jaya dan foto salah satu pekerja kebersihan yang meninggal saat proses penyidikan tersebut.
"Dengan adanya pengaduan ini, kami menjanjikan dua minggu lagi kita akan mengadakan pertemuan dengan pihak penyidik kasus JIS di Polda Metro Jaya, pengacara terpidana dan perwakilan keluarga untuk melakukan klarifikasi terhadap pengaduan keluarga pekerja kebersihan yang menduga telah terjadi penyiksaan oleh para penyidik," katanya, Rabu (4/2/2015).
Kompolnas langsung memutuskan untuk melakukan klarifikasi dua minggu berikutnya kepada pihak penyidik Polda Metro Jaya dengan laporan keluarga pekerja kebersihan PT Integrated Service Solution (ISS). Dengan bukti yang dibawa keluarga pekerja, pihak penyidik harus menjelaskan tuduhan tersebut saat mengungkap laporan TPW, orang tua yang mengaku anaknya menjadi korban pelecehan di JIS.
"Bila buktinya kuat dan terjadi pelanggaran yang dilakukan para penyidik, kami akan meminta internal Polda Metro Jaya untuk mengevaluasi tindakan tersebut. Di internal kepolisian ada lembaga untuk mengawasi kinerja seperti propam dan lain-lain. Kita bisa merekomendasikan pemberian sanksi," katanya.
Dengan demikian pembuktian terhadap dugaan tersebut harus dipersiapkan dalam klarifikasi tersebut. Bukti tersebut bisa keadaan sebelum menjalani penyelidikan hingga penyidikan dibandingkan setelah melewati proses tersebut. Jadi pengaduan keluarga pekerja kebersihan PT ISS tidak hanya sebatas lisan saja. Untuk itu, kehadiran tim pengacara para pekerja sangat penting.
Hamidah Abdurrahman mengakui saat ini masih sering menerima pengaduan dugaan kekerasan pihak penyidik dalam mengungkapkan suatu kasus. Di berbagai daerah dan berbagai kasus masih sering ditemukan tindak kekerasan dan penyiksaan sehingga tersangka mengalami luka bahkan ada yang meninggal dunia.
"Untuk itu keberadaan bukti-bukti sangat penting untuk mengklarifikasi pengaduan tersebut, karena kita akan usahakan dipertemukan langsung dengan para penyidik kasus JIS saat itu," tambahnya.
Dalam pertemuan tersebut, aktivis Imparsial Ghufron Mabruri menjelaskan pihak keluarga pekerja kebersihan dari PT ISS Indonesia bukti-bukti berupa foto dan keterangan dari keluarga serta istri pekerja kebersihan yang diadili dalam kasus tuduhan pelecehan seksual terhadap anak TK di JIS.
"Kami juga mengharapkan supaya Kompolnas mengupayakan untuk melakukan investiasi dengan meninggalnya salah satu tersangka yaitu saudara Azwar saat proses penyelidikan," katanya.
Sebab dari bukti yang ada, sebelum mengikuti proses penyelidikan di Polda Metro Jaya, Azwar masih segar bugar. Dia tumbuhnya ramping dan sempat foto di dekat halikopter di depan Polda Metro Jaya. "Tetapi saat meninggal wajahnya bengkak, lebab dan penuh luka," katanya.
Para pekerja kebersihan PT ISS lainnya, lanjut Ghufron, mengalami penyiksaan seperti disundut rokok, jarinya dijepit kaki kursi, dipaksa minum sambal 2 botol, muka ditendang, mata, mulut serta hidung diplester dan dilakban.
Para pekerja kebersihan yang mengalami penyiksaan itu adalah Virgiawan Amin, Agus Iskandar, Syahrial dan Zainal Abidin. Adapun Afrischa yang didampingi pengacara selama penyidikan lolos dari dugaan penganiayaan di Unit PPA Polda Metro Jaya tersebut.
Sementara Yayan, istri Syahrial mengatakan saat menengok suaminya di Polda Metro Jaya, dia sempat tidak mengenali wajah Syahrial. Sebab mukanya penuh luka dan lebam. Dia mengaku disiksa polisi demikian juga dengan teman-temannya.
"Saya kaget dan sedih sekali. Tetapi suami saya meminta untuk sabar, kalau protes maka takut akan disiksa lagi. Jadi kami mohon bantuannya apalagi untuk kasus yang suami saya tidak lakukan," jelasnya.
Sejak suaminya ditangkap polisi untuk kasus tuduhan pelecehan seksual terhadap siswa TK di JIS, banyak tetangganya yang mencemooh. Mereka percaya suaminya menjadi pelaku dalam kasus tersebut. Apalagi hakim sudah menjatuhkan vonis 8 tahun penjara terhadap suaminya.
Sementara salah satu orang tua murid JIS, Sandra mengatakan pada awalnya merasa binggung dengan kasus pelecehan seksual di JIS. Namun dari proses persidangan dan keterangan ibu pelapor sangat janggal. Lokasi yang dituduhkan terjadi pelecehan di toiliet yang ramai dan pengamanan yang ketat. Jadi tidak masuk akal kalau pelecehan tersebut terjadi.
"Ruangan kelas dan ruangan guru di JIS sangat transparan sehingga bisa dilihat banyak orang. Orang tua murid juga bisa masuk kelas mendampingi anak saat belajar. Jadi tidak masuk akal kasus ini," katanya.
Sebelumnya, dalam persidangan dengan terdakwa dua guru JIS, terungkap adanya fakta baru. Dr Lutfi dari Rumah Sakit Pondok Indah (RSPI) Jakarta mengatakan bahwa hasil pemeriksaan medis terhadap MAK, salah satu siswa JIS yang diduga menjadi korban kekerasan seksual ini, bukanlah visum yang konklusif karena hanya sementara.